"Karena Minahasa sudah dalam zona merah, mejadi tanggung jawab kita semua baik sebagai pemerintah maupun sebagai generasi muda untuk menghindari narkoba dan seks bebas." Ini dikatakan oleh Pj Bupati Minahasa Royke H Mewoh pada acara Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS dan Narkoba di depan siswa-siswi SMA se Minahasa, Sulut (manado.tribunnews.com, 22/5-2018).
Kasus kumulaitif HIV/AIDS di Kabupaten Minahasa dari tahun 1997-2017 sebanyak 308 yang terdiri atas 74 HIV dan 234 AIDS (manado.tribunnews.com, 24/2-2018).
Apa yang dimaksud Mewoh tentang Minahasa sebagai 'zona merah'? Apakah jumlah kasus atau perilaku seksual warga sehingga tertular dan menularkan HIV/AIDS?
Dari jumlah kasus angka yang terdeteksi memang tidak menggambarkan jumlah warga Minahasa yang mengidap HIV/AIDS karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (308) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Adakah langkah konkret Pemkab Minahasa untuk mendeteksi pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat?
Kalau tidak ada, itu artinya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang kelak terdeteksi pada ibu hamil dan bayi jadi bukti terjadi penyebaran HIV di masyarakat melalui warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Yang potensial menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah adalah laki-laki dewasa yang sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Sosialisasi pencegahan justru dilakukan kepada siswa-siswi SMA.
Pada usia siswa-siswi SMA dorongan hasrat seksual sangat kuat. Pesan Mewoh kepada siswa-siswi itu agar menjahui 'seks bebas'. Kalau yang dimaksud Mewoh 'seks bebas' adalah hubungan seksual di luar nikah, maka hal ini juga dilakukan oleh kalangan dewasa melalui berbagai modus. Misalnya, dengan pekerja seks komersial (PSK), perselingkuhan, 'kumpul kebo', dll.
Kalau hanya dengan jargon 'jauhi seks bebas' itu sama saja dengan menggarami laut. Menggantang asap. Survei Kemenkes RI tahun 2012 menunjukkan ada 6,7 juta laki-laki di Indonesia yang jadi pelanggan 230.000 PSK. Celakanya, 4,9 juta di antaranya punya istri (antarabali.com, 9/4-2013).
Jika fakta ini ditarik ke Minahasa, apakah di Minahasa ada transaksi seks yang melibatkan PSK?
Jawaban sudah bisa ditebak: Tidak ada! Ini karena di Minahasa dan daerah lain di Indonesia tidak ada lagi lokalisasi pelacuran yang diregulasi. Tapi, transaksi seks yang melibatkan PSK tentu saja ada dengan berbagai modus yang tidak kasat mata. Yang perlu diperhatikan adalah ada dua tipe PSK, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Perilaku warga yang berisiko tertular HIV, al.:
(a). Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS, dan
(b). Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang sering berganti-ganti, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung, karena bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS.
Jika Pemkab Minahasa ingin agar siswa-siswi SMA terhindar dari HIV/AIDS, maka yang perlu disampaikan adalan bagaimana cara remaja mengendalikan dorongan seks mereka di masa-masa libido yang kuat. Bukan hanya sekedar jargon dengan kaca mata orang dewasa yang justru tidak bisa mengendalikan dorangan seksualnya. Buktinya, jutaan laki-laki dewasa beristri jadi pelanggan setia PSK [Baca juga: Membicarakan Remaja dengan Kaca Mata (Moralitas) Dewasa].
Tidak ada subsitusi penyaluran dorongan seksual. Kalau disebut olahraga itu tidak tepat karena dengan berolahraga justru sehat sehingga dorongan seks lebih kuat lagi. Lagi pula, apa bisa ketika di tengah malam buta seorang remaja terangsang lalu ganti pakaian dengan pakaian olahraga langsung pergi ke lapangan bola atau jogging?
Maka, yang dibutuhkan remaja dalam hal ini siswa-siswi SMA peserta sosialisasi itu adalah jalan keluar yang ril bagaimana cara mereka menyalurkan dorongan seksual agar tidak tertular HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H