"Tulisan Status 'Skenario Pengalihan yg Sempurna' Di Facebook, Dosen USU Ditangkap" Ini judul berita di tribunnews.com (20/5-2018).Â
"Komentari Bom Gereja, Dua Wanita Cantik Dipenjara! Profesinya Guru dan Perawat"Â (pontianak.tribunnews.com,17/5-2018).
 "Bom di Surabaya. Postingannya Dianggap Membela Aksi Teror, Pilot Garuda Indonesia Dikecam dan Langsung Kena Batunya." (m.tribunnews.com, 19/5-2018).
 Dari judul-judul berita di atas tampak jelas pelakunya berpendidikan tinggi. Tapi, mereka dengan seenaknya menyebarkan informasi yang tidak benar (hoax), ujaran kebencian dan penafsiran tanpa fakta.
Dosen dan guru tentu saja berpijak pada data dan fakta. Tapi, yang mereka posting di media sosial, al. Facebook, justru bukan fakta sehingga hanya berupa kabar bohong yang mereka olah berdasarkan moralitas dirinya sendiri.
Apapun alasan mereka, baik karena iseng atau emosi, yang mereka lakukan adalah perbuatan melawan hukum dalam hal ini UU ITE. Pengecualian dalam hukum hanya kepada orang gila bukan kepada yang iseng dan emosi. Kalau mereka mau bebas bisa mencari diagnosis medis yang menyatakan sebagai orang gila.
Sebagai seorang  dosen Ilmu Perpustakaan di FIB Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tentulah unggahan Himma Dewiyana Lubis ini tidak berdasarkan kajian ilmiah yang seharusnya menjadi pijakan seorang dosen.
"Skenario pengailah yang sempurna..." Inilah status Himma. Apa dasar Himma membuat kesimpulan ini? Kalau pun Himma memakai premis tetap saja tidak akurat  karena fakta (empiris) pelaku bom tsb. merupakan jaringan teroris. Skenario justru dibuat oleh jaringan teroris tsb. bukan polisi atau pemerintah. Dalam kaitan teror di Surabaya (13/5-2018) polisi justru ada yang jadi korban.
Begitu juga dengan FSA, guru perempuan yang menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah SMP Negeri di Kabupaten Kayong Utara, Kalbar, yang juga menyebut bom Surabaya sebagai rekayasa. Seorang guru dan sebagai kepala sekolah tentulah naif membuat kesimpulan tanpa data.
Kalau saja postingan #2019GantiPresiden yang disebarkan oleh Himma dia lakukan di masa Orde Baru, maka itu sudah merupakan perbuatan yang melawan hukum karena dikategorikan sebagai upaya makar dengan cara yang tidak berdasarkan UU (inskontitusional). Ini perbuatan melawan hukum dengan 'hadiah' hotel prodeo di balik jeruji besi.
Oknum pilot Garuda Indonesia menyoal berita media massa dan media online di Surabaya yang menyebut pelaku bom Surabaya pernah ke Syria. Belakangan diketahui pelaku tidak pernah ke Syria tapi 'menampung' WNI yang pernah ke Syria. Pilot ini juga menyebut bom Surabaya sebagai rekayasa. Lagi-lagi seorang pilot yang tidak mengedepakan akal sehat sehingga terjebak dalam pemikiran yang sempit.