Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Dukungan Memberantas Korupsi yang Sangat Rendah

19 Mei 2018   14:32 Diperbarui: 19 Mei 2018   14:44 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Keuangan Negara. Pemberantasan Korupsi Minim Komitmen." Judul berita di Harian "KOMPAS" (19/5-2018) ini menyentak karena merupakan realitas sosial di tengah-tengah masyarakat yang selalu menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama.

Orang beragama tahu persis cara bertobat agar dosa diampuni, maka wajarlah kalau agama tidak bisa diandalkan jadi benteng yang menghalangi korupsi. Pemeluk Islam, misalnya, dari kecil sudah diingatkan bahwa (daging) babi haram. Maka, yang dihindari adalah memakan daging babi. Sedangkan makanan yang merusak kesehatan dan makanan yang dibeli dengan uang yang tidak halal terkesan bukan makanan (yang) haram.

Selain itu ada pula sikap ambiguitas di masyarakat. Caci-maki hanya ditujukan kepada koruptor yang bukan teman, kenalan, atau anggota keluarga. Ibarat pepatah: Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Berat sebelah yang juga sebagai ambiguitas.

Amatlah bertolak-belakang dengan Malaysia yang menjungkalkan calon perdama menteri 'incumbent' dengan isu korupsi (Baca juga: Isu Korupsi Tumbangkan "Incumbent" di Pemilu Malaysia 2018). Bandingkan dengan Indonesia. Korupsi tidak laku dijual sebagai isu pilkada, pileg dan pilpres. Lagi pula politik uang ada yang juga bagian dar korupsi. Tersangka dan napi koruptor pun tetap bisa jadi calon kepala daerah.

Pemberantasan korupsi dengan cara-cara yang luas biasa, antara lain melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah berjalan sejak 20 tahun yang lalu ketika reformasi digulirkan. Tapi, hasilnya tidak optimal, seperti disebutkan "KOMPAS" justru stagnan (KBBI: dalam keadaan terhenti).

Kondisi itu terjadi karena dukungan dari berbagai pihak untuk memberantas korupsi sangat rendah. Disebutkan oleh "KOMPAS": Saat ini bahkan yang berkembang ialah korupsi uang negara oleh perwakilan negara itu sendiri, baik melalui badan usahanya, maupun aparat penyelenggara negara baik yang berada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dalam bahasa lain "KOMPAS" menyebut korupsi yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah state capture corruption (diperpekenalkan oleh Bank Dunia tahun 2000) yaitu korupsi yang melibatkan elit-elit politik negara dengan mempengaruhi keputusan untk keuntungan pribadi yang secara sistematis melemahkan pemberantasan korupsi. Korupi KTP Elektronik terang-benderang dilakukan oleh elit-elit di pemerintahan dan legislatif. Elit pemerintahan dan legislatif merampok uang negara.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif, memberikan contoh betapa elit-elit melemahkan korupsi: " .... Lihat saja ketika kami diperlakukan seperti itu di Komisi III (DPR-pen.), posisi kami sangat lemah." Ini dikatakan Laode di diskusi "Refleksi gerakan Antikorupsi: Menjawab tantangan 20 Tahun Reformasi."  (Jakarta, 18/5-2018).

Karena banyak pihak yang tidak mendukung, maka, yang bisa diharapkan adalah keluarga. Seorang ayah atau mertua diharapkan bisa bertanya kepada anak atau menantu sumber uang atau kekayaan karena jika dihitung-hitung tidaklah mungkin harta yang dimiliki bersumber dari gaji atau upah. Justru tidak sedikit anggota keluarga yang justru menikmati hasil korupsi salah satu anggota keluarga. Istri koruptor memakai tas bermerek harga ratusan juta rupiah (Baca juga: Memberantas Korupsi Mulailah dari Lingkungan Keluarga).

Ada semacam pameo di tengah-tengah masyarakat yang justru secara tidak langsung memberi angin kepada koruptor dan manipulator yang menyebut rezeki ada jalannya. Jalan di sini diartikan sebagai kebaikan Yang Maha Kuasa, tapi ketika ditanya jalan mana atau jalan apa yang membawa rezeki itu orang pun selalu berkelit dan berlindung pada pameo itu.

Maka, sudah saatnya seitap orang berani menyebutkan asal usul uang atau harta yang dimilik sen demi sen. Untuk itu perlu dukungan agar pemerintah dan DPR menerbitkan UU Pembuktian terbalik sehingga tidak ada lagi yang bisa berkelit bahwa kekayaannya merupakan 'rezeki dari atas' (Baca juga: Kian Mendesak UU Pembuktian Terbalik untuk Cegah Korupsi dan Penggelapan Pajak dan Menghadang Nyali (Calon) Koruptor dengan UU Pembuktian Terbalik).

Kalau hanya mengandalkan KPK perilaku koruptif dan kasus-kasus korupsi akan terus terjadi. Apalagi hukumannya juga sangat rendah. "Sampai hari ini, KPK masih kewalahan dalam memberantas korupsi," kata Laode pada diskusi tsb. Maka, perlu juga dipkirkan pidana sosial selain penjara dan uang pengganti bagi koruptor. Misalnya, menyapu jalan raya, membesihkan tolilet umum, dll. (Baca juga: Pidana Kerja Sosial Memupus Kepura-puraan Napi dan "KKN" Remisi).

Sektor pemerintahan sangat besar peranannya dalam memberantas kopusi dan suap, misalnya, dengan penerapan sistem online dan transparansi serta perizinan satu pintu. Kalau hanya seorang Jokowi walaupun sebagai presiden terus-menerus mengingatkan agar mempermudah perizinan dan transparansi tentulah tidak jalan karena dihadang otonomi daerah. Pameo 'kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah' jadi ganjalan karena di sini ada lembaran-lembaran uang.

Sayang, hal ini justru dihindari oleh pemerintahan daerah. Celakanya, otonomi daerah memutus rantai komando dari presiden dan menteri ke pemerintah daerah. Maka, korupsi pun akan terus terjadi karena dinikmati oleh keluarga dan kerabat yang tidak (lagi) punya rasa malu. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun