Kalau hanya mengandalkan KPK perilaku koruptif dan kasus-kasus korupsi akan terus terjadi. Apalagi hukumannya juga sangat rendah. "Sampai hari ini, KPK masih kewalahan dalam memberantas korupsi," kata Laode pada diskusi tsb. Maka, perlu juga dipkirkan pidana sosial selain penjara dan uang pengganti bagi koruptor. Misalnya, menyapu jalan raya, membesihkan tolilet umum, dll. (Baca juga: Pidana Kerja Sosial Memupus Kepura-puraan Napi dan "KKN" Remisi).
Sektor pemerintahan sangat besar peranannya dalam memberantas kopusi dan suap, misalnya, dengan penerapan sistem online dan transparansi serta perizinan satu pintu. Kalau hanya seorang Jokowi walaupun sebagai presiden terus-menerus mengingatkan agar mempermudah perizinan dan transparansi tentulah tidak jalan karena dihadang otonomi daerah. Pameo 'kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah' jadi ganjalan karena di sini ada lembaran-lembaran uang.
Sayang, hal ini justru dihindari oleh pemerintahan daerah. Celakanya, otonomi daerah memutus rantai komando dari presiden dan menteri ke pemerintah daerah. Maka, korupsi pun akan terus terjadi karena dinikmati oleh keluarga dan kerabat yang tidak (lagi) punya rasa malu. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H