Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Belasan Guru di Cilacap Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

17 Mei 2018   21:55 Diperbarui: 18 Mei 2018   07:24 3305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Belasan Guru di Cilacap Mengidap HIV/AIDS." Ini judul berita di nasional.republika.co.id (4/5-2018). Tidak ada yang aneh atau sensasional terkait dengan fakta tsb. karena secara empiris guru berpenghasilan tetap sehingga mereka mempunyai uang untuk membeli seks.

Sampai Maret 2018 tercatat ada 1.124 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap. Dari Januari-Mei 2018 terdeteksi 44 kasus HIV/AIDS. Dari jumlah ini disebutkan ada 14 guru.

Penjelasan Manajer Kasus Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Cilacap, Rubino Sriadji, memberikan gambaran ril tentang faktor risiko atau cara penularan HIV/AIDS: "Sebanyak 95 persen penularan penyakit HIV didominasi oleh hubungan seks dengan orang yang terinfeksi HIV."

Yang jadi masalah besar adalah orang-orang yang mengidap atau terinfeksi HIV/AIDS tidak bisa dikenal dari fisiknya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS. Karena tidak ada tanda-tanda itulah kemudian laki-laki 'hidung belang' yang membeli seks tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Sayang, dalam berita Rubino tidak menjelaskan atau wartawan tidak bertanya 'siapa orang yang terinfeksi HIV' yang menularkan HIV ke guru-guru tsb.

Adalah kenyataan banyak daerah yang menganggap tidak ada pelacuran. Dari aspek de jure itu benar adanya karena sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran, kecuali di beberapa kota, sudah ditutup. Tapi, secara de facto transaksi seks dalam bentuk pelacuran terselubung terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus. Mulai dari melalui kurir sampai dengan memakai media sosial.

Seperti pelacuran Gang Dolly di Surabaya yang ditutup, apakah ada jaminan Kota Surabaya (sudah) bebas pelacuran? Ternyata tidak karena sudah beberapa kali polisi membongkar jaringan prostitusi online.

Begitu juga dengan wilayah Kabupaten Cilacap, Jateng. Biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran, apakah Pemkab Cilacap bisa menjamin tidak ada transkasi seks dalam bentuk pelacuran di Kab Cilacap?

Kalau Pemkab Cilacap tetap ngotot mengatakan tidak ada (praktek) pelacuran di Cilacap, maka kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi dengan faktor risiko hubungan seksual menggugurkan anggapan bahwa di Cilacap tidak ada praktek pelacuran.

Salah satu cara yang efektif menurunkan jumlah kasus baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan perempuan yang praktek sebagai pekerja seks komersial (PSK) adalah dengan melakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual dengan PSK. Program ini tidak bisa dijalankan karena praktek transkasi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Sedangkan intervensi untuk PSK tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan karena mereka tidak kasat mata dan modus operandinya pun beragama dan memakai peralatan telekomunikasi dan media sosial. Ada kemungkinan banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung dengan menganggap tida ada risiko karena perempuan itu tidak kasat mata sebagai PSK.

Dikatakan oleh Rubino: " .... dengan jumlah penderita sebanyak itu, mestinya bisa menjadi peringatan semua pihak agar menjaga perilaku hidup sehat."

Pernyataan Rubino ini tidak akurat karena bermuatan moral.

Apa yang dimaksud dengan 'perilaku hidup sehat'?

Tidak jelas!

Maka, masyarakat pun hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) dari berita ini. Tidak ada pencerahan karena tidak disebutkan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Kalau 14 guru itu laki-laki semua dan mempunyai istri, maka istri-istri mereka akan berisiko pula tertular HIV (horizontal). Jika istri mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV (vertikal) kepada bayi yang dikandungnya kelak.

Maka, Pemkab Cilacap perlu menerbitkan peraturan bupati (Perbup) atau peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami menjalani konseling tes HIV ketika istrinya hamil. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksualnya berisiko, maka dirujuk untuk tes HIV. Istrinya pun menjalani tes HIV, Jika hasil tes positif, maka diwajibkan ikut program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi agar anak yang dilahirkan kelak tidak tertular HIV.

Soalnya, Ribuno mengatakan, temuan tersebut umumnya diketahui setelah penderita sedang jatuh sakit, melakukan skrining donor darah, dan saat melakukan tes HIV bagi calon pengantin

Jika tes HIV dilakukan karena ada indikasi HIV/AIDS ketika berobat, ini sudah terlambat karena ada kemungkinan sudah masuk masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), Maka, perlu mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di masyarakat.

Disebutkan 'skrining donor darah'. Ini salah karena yang diskrining bukan donor tapi darah donor. Jika donor darah diskrining itu melawan aturan yang ditetapkan yaitu unlinked anonymous dan bisa membuat warga takut jadi donor darah.

Sedangkan tes HIV bagi calon pengantin bisa jadi bumerang karena kelak kalau si istri terdeteksi mengidap HIV/AIDS suami akan menuduh istrinya yang selingkuh karena hasil tes HIV sebelum menikah negatif. Selain itu tes HIV bukan vaksin. Biar pun hasil tes HIV negatif sebelum menikah itu bukan jaminan selamanya suami akan bebas HIV/AIDS karena bisa saja suami melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun