Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Cagub Khofifah Tanggapi AIDS Jatim di Hilir

7 Mei 2018   13:55 Diperbarui: 7 Mei 2018   14:42 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: vnahg.org)

Berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, disebutkan sampai Juni 2017 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Timur sebanyak 35.168. Angka ini menempatkan Jatim pada peringkat pertama jumlah kasus infeksi HIV dan peringkat kedua kasus AIDS secara nasional.

Sebagai calon gubernur (Cagub) untuk Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menjadikan isu HIV/AIDS sebagai bahan kampanye. Ini langkah baik. Celakanya, kalau berpijak pada berita yang disiarkan liputan6.com (1/5-2018) dengan judul "Cagub Khofifah Soroti Virus HIV/AIDS yang Tinggi di Jatim" sama sekali tidak ada infomrasi yang komprehensif yang bisa dimanfaatkan warga Jatim dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Khofifah lebih menekankan hak warga yang sudah terpapar HIV/AIDS yang disebut sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Tentu saja hal ini ada di hilir yaitu penanganan pada Odha yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV berdasarkan hasil tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku.

Terkait dengan HIV/AIDS yang diperlukan buka sekedar orasi politik, tapi informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Dengan mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan, maka masyarakat bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS.

Dalam berita Khofifah mengatakan: "Kalau sudah diketahui bahwa ada yang terpapar ODA di titik-titik tertentu, harus ada yang mengkomunikasikan minimal ke puskesmas terdekat atau ke rumah sakit supaya mereka mendapatkan treatment secara reguler. Pemerintah menyiapkan treatment yang eligibel kepada mereka yang terpapar ODA."

Pernyataan ini tidak akurat.

Pertama, tidak bisa dikenali orang-orang yang tertular HIV dari fisik dan kondisi kesehatan secara kasat mata.

Kedua, justru banyak orang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisiknya.

Ketiga, banyak orang yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena tidak melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. Padahal, risiko tertular HIV bukan hanya dengan PSK di lokalisasi pelacuran, tapi juga dengan pasangan seks yang berganti-ganti tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK tidak langsung (cewek-cewek yang bisa diajak berhubungan seksual di diskotek, tempat-tempat hiburan, panti pijat, dll.)

Keempat, orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS tidak otomatis memerlukan treatment atau pengobatan. Obar antiretroviral (ARV) untuk menghambat replikasi HIV di dalam darah diberikan jika hasil tes CD4 sudah di bawah 350. Pernyataan yang menyebutkan orang-orang yang terdeteksi HIV memerlukan pengobatan justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena dikesankan sudah penyakitan.

Yang perlu dilakukan segera di Jatim adalah menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan, insiden infeks HIV baru khususnya pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung (PKS yang kasat mata seperti di tempat-tempat pelacuran, jalanan, dll.) serta dengan PSK tidak langsung (PSK tidak kasat mata seperti cewek-cewek bar, kafe, diskotek, pemijat, pelajar, mahasiswi, dll. yang mau diajak melakukan hubungan seksual dengan bayaran dan tanpa bayaran).

Celakanya, ketika menjabat Menteri Sosial justru Khofifah menutup tempat-tempat pelacuran. Hal ini justru menghambat program penanggulangan karena praktek PSK tidak bisa lagi diintervensi karena transaks seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Jika praktek PSK dilokalisir, maka bisa dijalankan program intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Karena tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV, khususnya melalui hubungan seksual, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Jatim akan terus terjadi yang pada gilirannya akan ditularkan ke istri yang berakhir pada bayi yang dilahirkan istri-istri mereka yaitu anak-anak dengan HIV/AIDS. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun