100 hari jelang pembukaan pesta olahraga antara bangsa se Asia (Asian Games 2018/AG 2018) geliat rakyat untuk merayakan kegiatan olahraga empat tahunan itu belum muncul ke permukaan. Tak kurang dari Presiden Jokowi yang turun tangan memasyarakatkan Asian Games dengan memakai jaket berhiasan lambang-lambang olahraga.
Celakanya, instansi dan institusi yang berkaitan langsung dengan olahraga malah adem ayem. Sambuatan untuk AG 2018 tampaknya kalah dari sambutan menonton laga sepak bola antarklub di Senayan.
Kok bisa kegiatan tingkat Asia melempem?
Seperti juga yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang mengritik pemerintah karena mau menerima tawaran jadi tuan rumah Asian Games 2018.
Menurut Prabowo semula yang ditunjuk adalah Vietnam. "Asian Games itu memakai uang rakyat. Berapa triliun uang rakyat yang dipakai untuk membangun infrastruktur? Padahal, tahun ini gilirannya Vietnam yang menjadi tuan rumah." (detiknews, 28/3-2018).
Celakanya, Prabowo rupanya tidak punya informasi yang akurat tentang kapan dan siapa yang menerima tawaran Dewan Eksekutif Dewan Olimpiade Asia agar Indonesia jadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia itu.
Indonesia menerima tawaran jadi tuan rumah Asian Games 2018 pada 19 September 2014 lalu atau 30 hari sebelum pemerintah Presiden SBY-Boediono menyerahkan kekuasaan kepada Presiden Jokowi-Jusuf Kalla (Baca juga: Asian Games 2018, SBY yang Terima, Jokowi yang Disemprot Prabowo).
Yang jadi pertanyaan besar adalah: Ketika Indonesia menerima tawaran Dewan Eksekutif Dewan Olimpiade Asia, apakah sudah ada 'cetak biru' pelaksanaan Asian Games 2018?
Dewan itu tentu saja tidak ujug-ujug (tiba-tiba) menawarkan tuan rumah Asian Games 2018 kepada Indonesia. Ada proses yang dilalui seperti pendekatan, dst
 Nah, ketika pada tahap awal Indonesia ditawari, apakah kemudian ada perencanaan yang matang yang diwujudkan dalam bentuk blue print atau 'cetak biru' pelaksanaan Asian Games 2018 itu?
Atau setelah diterima, apakah Pemerintahan Presdien SBY-Boediono langsung merancang 'cetak biru' sebelum menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Presiden Jokowi/JK?
Kalau pemerintahan SBY-Boediono menyerahkan 'cetak biru' pelaksanaan  Asian Games 2018 kepada Presiden Jokowi-JK tentulah persiapan tidak seperti yang terjadi sekarang. Praktis, semua baru dilakukan 'the last minute' atau sekitar tahun-tahun belakangan ini.
Skala prioritas pemerintahan Presiden Jokowi-JK menggenjot infrastruktur yang langsung menyentuh akses ke masyarakat, serta pendidikan, kesehatan, dan pertanian.
Jika memakai jalan pikiran Prabowo seharusnya yang disemprot bukan pemerintahan sekarang, tapi pemerintah yang menerima tawaran jadi tuan rumah. Soalnya, ketika Indonesia menerima tawaran dan menyatakan diri sabagai tuan rumah Asian Games 2018 ada implikasi politik dan ekonomi di tingkat Asia, bahkan dunia.
Misal, meningkatkan citra Indonesia sehingga bisa menarik minat investor. Sebaliknya, jika ditolak setelah diterima pada 'the last minute' akan sangat buruk dampaknya bagi Indonesia. Bisa-bisa kita dikucilkan dari dunia olahraga internasional. Investor pun akan hengkang karena tidak percaya lagi kepada pemerintah.
Tanpa sakwasangka, tapi dengan situasi dan kondisi yang muncul mengiringi perjalanan persiapan Asian Games 2018 boleh jugalah berandai-andai, jangan-jangan ajang ini dijadikan sebagai 'jebatakan betmen' untuk pemerintah (baca: Jokowi/JK). Semoga tidak demikian.
"Kasus" Asian Games 2018 ini jadi pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia dalam menerima tawaran kegiatan dengan skala internasional. *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI