Pagi dan sore buruh meneunggu bus di Sepanjang Tol Tangerang-Merak dan sebaliknya, bahkan ada di antara mereka yang harus menyeberang jalan tol ....
Sudah belasan tahun saya hilir-mudik ke Banten. Setiap perjalanan terutama di pagi hari mulai dari Karawaci sampai Ciujung buruh, terutama perempuan, berjejer di titik-titik tertentu menunggu bus jurusan Merak dan sebaliknya.
"Nasib" mereka tergantung kepada situasi. Soalnya, titik-titik tempat mereka menunggu bus ada tanda larangan berhenti (letter S) dan papan pengumuman ancaman kurungan dan denda bagi awak bus dan penumpang yang naik turun di tempat-tempat tersebut. Ketika tidak ada patroli tol dan PJR (Polisi Jalan Raya) bus akan berhenti dan kondektur pun berteriak agar cepat naik, "Ayo, Neng, cepat ...."
Buruh-buruh perempuan itu pun berdesak-desakan naik ke bus. Begitu juga ketika hendak turun selalu disuruh cepat agar tidak lama berhenti sehingga lolos dari "sergapan" patroli.
Memang, belum terdengar ada korban tewas, tapi ketika naik buru-buru dan turun pun harus cepat berisiko terjatuh karena ketika ada bunyi sirene sopir akan memacu bus akan tidak ditangkap karena berhenti menurunkan penumpang.
Bus penuh sesak, "Ya, tidak ada pilihan lain, Pak," kata seorang perempuan yang mengaku akan ke tempat kerja di sebuah pabrik di kawasan Gorda. Dia berdiri berhimpitan bak ikan dencis di kaleng. Mereka bentung bus memakai pendingin ruangan sehingga bedak yang mereka pakai tidak luntur.
Biar pun sudah di dalam bus, nasib belum tentu aman. Bisa saja terjadi di titik tempat mereka akan turun ada mobil PJR. "Pinggir, Pak," teriak penumpang perempuan ramai-ramai, tapi bus terus melaju. Maklum, jarak dekat ongkosnya hanya dua atau empat ribu, tapi kondektur harus bayar tilang ratusan ribu rupiah kalau tertangkap menurunkan penumpang. Bus pun baru berhenti di titik berikutnya.
"Kasihan, sih, Pak. Mereka sudah lama menunggu karena takut telat," kata seorang kondektur ketika bus tidak berhenti karena ada PJR. Tapi, dia pun tidak punya pilihan. Maka, kondektur biasanya selalu melihat ke belakang apakah ada mobil sedan putih dengan lampu di atas yang berkedip-kedip. "Aman," teriak kondektur. Bus pun behenti.
Calon penumpang ada yang sembunyi di balik tiang jembatan ada pula yang di balik tembok pembatas tol. Soalnya, kalau patroli lewat melihat ada calon penumpang bus mobil patroli itu pun ngetem dan bus tidak akan berani berhenti. Buruh-buruh perempuan itu menunggu bus di tepi jalan tol sejak pukul 05.30 sampai pukul 07.00. Sebagian harus menyeberang jalan tol karena tempat kerja di arah sebaliknya. Celakanya, pada saat yang sama patroli hilir-mudik di sepanjang jalan tol di kedua sisi.
PT KAI memang sudah menjalankan kereta rel listrik (KRL) dari Tanah Abang-Rangkasbitung. Cuma, jalur rel tidak dekat dengan pusat-pusat industri atau pabrik sehingga buruh-buruh pabrik yang tinggal mulai dari Tangerang, Karawaci, dst. Tidak bisa memanfaatkan KRL.
Soalnya, pusat industri dibangun di sisi utara dan selatan jalan tol Jakarta-Merak yang jauh letaknya dari jalur rel KA karena rel ke arah selatan melewati Serpong-Tigaraksa-Maja-Rangkasbitung. Dari Rangkasbitung ada KA Ekonomi ke Cilegon sampai Merak. Naik bus lewat jalan tol bagi buruh jauh lebih baik karena tidak terikat waktu. Dari tempat turun mereka bisa jalan kaki atau naik ojek ke pabrik tempat kerja. Kalau naik KRL jadwal hanya sekali satu jam dan ongkos ojek dar stasiun KA ke tempat kerja bisa lebih mahal daripada ongkos ojek dari titik turun di jalan tol.
Jalan raya yang menghubungkan Tangerang sampai Serang, bagian dari Jalan Raya Pos yang dikenal sebagai jalan raya Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 Km yang dibangun oleh Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels (1808). Tapi, "Pak, muacetnya bukan main," kata seorang buruh wanita yang menumpang bus lewat jalan tol. Jarak belasan kilometer pun bisa satu sampai dua jam karena kendaraan nyaris tak bergerak di pagi dan sore hari karena padat.
Itulah sebabnya mereka tidak bisa mengandalkan angkutan kota atau angkutan umum yang melewati jalan raya lama karena kemacetan di sepanjang jalan raya itu. Sedangkan kalau naik bus lewat tol hanya butuh waktu antara 15 menit sampai 30 menit.
Celakanya, organisasi-organisasi buruh sama sekali tidak memperhatikan nasib buruh-buruh yang setiap hari "menyabung nyawa" di sepanjang jalan tol. Begitu juga dengan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang jadi tempat tinggal dan pabrik tempat buruh itu bekerja.
Di peringatan "Hari Buruh" (May Day) tangal 1 Mei, seperti hari Selasa kemarin buruh unjuk rasa dengan nuansa politik berupa kegiatan mendukung pencapresan. Sehari kemudian, tanggal 2 Mei, ratusan buruh "menyabung nyawa" di sepanjang jalan Tol Tangerang-Merak (pagi hari) dan Merak-Tangerang di sore hari.
Tanpa buruh, apakah ada organsisasi buruh? Begitu juga terhadap pemerintah daerah kontribusi buruh tidak bisa diabaikan karena mereka lah ujung tombak perusahaan. Kehadiran perubahaan di daerah memacu roda industri yang pada gilirannya menyumbang untuk pendapatan asli daerah (PAD) provinsi, kabupaten dan kota di wilayah Banten.
Apakah organisasi buruh dan pemerintah daerah tetap menjadikan buruh-buruh itu sebagai "sapi perahan"? Sampai hari ini itulah yang terjadi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H