PT KAI memang sudah menjalankan kereta rel listrik (KRL) dari Tanah Abang-Rangkasbitung. Cuma, jalur rel tidak dekat dengan pusat-pusat industri atau pabrik sehingga buruh-buruh pabrik yang tinggal mulai dari Tangerang, Karawaci, dst. Tidak bisa memanfaatkan KRL.
Soalnya, pusat industri dibangun di sisi utara dan selatan jalan tol Jakarta-Merak yang jauh letaknya dari jalur rel KA karena rel ke arah selatan melewati Serpong-Tigaraksa-Maja-Rangkasbitung. Dari Rangkasbitung ada KA Ekonomi ke Cilegon sampai Merak. Naik bus lewat jalan tol bagi buruh jauh lebih baik karena tidak terikat waktu. Dari tempat turun mereka bisa jalan kaki atau naik ojek ke pabrik tempat kerja. Kalau naik KRL jadwal hanya sekali satu jam dan ongkos ojek dar stasiun KA ke tempat kerja bisa lebih mahal daripada ongkos ojek dari titik turun di jalan tol.
Jalan raya yang menghubungkan Tangerang sampai Serang, bagian dari Jalan Raya Pos yang dikenal sebagai jalan raya Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 Km yang dibangun oleh Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels (1808). Tapi, "Pak, muacetnya bukan main," kata seorang buruh wanita yang menumpang bus lewat jalan tol. Jarak belasan kilometer pun bisa satu sampai dua jam karena kendaraan nyaris tak bergerak di pagi dan sore hari karena padat.
Itulah sebabnya mereka tidak bisa mengandalkan angkutan kota atau angkutan umum yang melewati jalan raya lama karena kemacetan di sepanjang jalan raya itu. Sedangkan kalau naik bus lewat tol hanya butuh waktu antara 15 menit sampai 30 menit.
Celakanya, organisasi-organisasi buruh sama sekali tidak memperhatikan nasib buruh-buruh yang setiap hari "menyabung nyawa" di sepanjang jalan tol. Begitu juga dengan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang jadi tempat tinggal dan pabrik tempat buruh itu bekerja.
Di peringatan "Hari Buruh" (May Day) tangal 1 Mei, seperti hari Selasa kemarin buruh unjuk rasa dengan nuansa politik berupa kegiatan mendukung pencapresan. Sehari kemudian, tanggal 2 Mei, ratusan buruh "menyabung nyawa" di sepanjang jalan Tol Tangerang-Merak (pagi hari) dan Merak-Tangerang di sore hari.
Tanpa buruh, apakah ada organsisasi buruh? Begitu juga terhadap pemerintah daerah kontribusi buruh tidak bisa diabaikan karena mereka lah ujung tombak perusahaan. Kehadiran perubahaan di daerah memacu roda industri yang pada gilirannya menyumbang untuk pendapatan asli daerah (PAD) provinsi, kabupaten dan kota di wilayah Banten.
Apakah organisasi buruh dan pemerintah daerah tetap menjadikan buruh-buruh itu sebagai "sapi perahan"? Sampai hari ini itulah yang terjadi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H