"Sorry, ya, teman-teman cowok saya tidak pernah zina." Inilah pernyataan seorang perempuan dalam 'diskusi' di Facebook ketika saya minta dia membayangkan perilaku seksual 10 cowok yang dia kenal.
'Diskusi' terus berlanjut. Belakangan cewek itu 'menghilang' dari peredaran ketika saya katakan bahwa zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan berdasarkan keyakinan, agama atau hukum negara.
Soalnya, bagi cewek itu zina adalah hubungan seksual dengan, maaf, dia sebut pelacur (pekerja seks komersial/PSK) di lokalisasi pelacuran. Maka, yang dia katakan tidak pernah zina adalah bahwa dia tahu persis 10 teman-teman cowoknya tadi tidak pernah ke lokalisasi pelacuran. "Sorry, ya, teman-teman cowok saya tidak pernah ke lokalisasi," kata cewek itu memberikan gambaran tentang perilaku teman-teman cowoknya.
Dalam KBBI disebutkan zina adalah (1) perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); fornikasi, dan (2) perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Fornikasi adalah persetubuhan yang dilakukan atas rasa suka sama suka dan saling membutuhkan tanpa paksaan dan tanpa bayaran antara pria dan wanita yang tidak terikat pernikahan (perkawinan).
Rupanya, bagi cewek tadi hubungan seksual antar teman atau sahabat atas dasar suka sama suka bukan zina. Mungkin inilah salah satu faktor yang membuat perselingkuhan jadi bagian dari kehidupan seksual sebagian orang. Di awal tahun 1990-an seorang dokter memopulerkan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) sebagai bentuk perselingkuhan.
Ada gejala permisivisme (KBBI: sikap dan pandangan yang membolehkan sesuatu perbuatan) serta promiskuitas (KBBI: perilaku perkawinan dengan tidak membatasi pada satu jodoh saja; hubungan seksual antara sejumlah pria dan wanita tanpa ada aturan yang mengikat) terkait dengan zina sehingga memberikan jenjang berupa gradasi norma. Dalam hukum positif yang diatur di KUHP perzinaan adalah delik aduan sehingga kasus-kasus perselingkuhan ibarat fenomena gunung es. Kasus yang muncul ke permukaan, al. berdasarkan pengaduan, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terkuak digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Pergeseran arti zina pun kemudian menyempit hanya hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Agaknya, PIL dan WIL bisa jadi lahir dari pergeseran arti zina sehingga tidak ada beban bagi pelakunya karena mereka lakukan berdasarkan 'cinta' yaitu dalam bentuk fornikasi.
Jika mengacu ke cara berpikir cewek tadi, ketika tidak ada lagi lokalisasi pelacuran maka tidak ada lagi perzinaan. Belakangan bentuk zina yang marak adalah prostitusi online. Transaksi seks terjadi sembarang waktu dan sembarang tempat.
Anggapan lain yang juga tidak kalah konyolnya adalah bahwa cewek atau perempuan yang bukan PSK langsung dianggap bukan pelacur, seperti cewek panggilan, dll. Dalam kaitan pelacuran cewek atau perempuan tsb. dikenal sebagai PSK tidak langsung.
PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Dari aspek risiko penularan penyakit, seperti IMS (infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin'), yaitu kencing nanang (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.) dan HIV/AIDS tidak ada beda antara PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Mereka tetap merupakan perempuan yang berisiko tinggi tertular IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus karena sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja ada di antara laki-laki yang mereka layani mengidap IMS atau HIV/AIDS ata kedua-duanya sehingga ada risiko penularan IMS dan HIV/AIDS.
Beberapa e-mail, SMS dan WA yang saya terima menyebutkan mereka tidak menyangka ada risiko tertular IMS atau HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung (di lokalisasi pelacuran) tapi dengan cewek, pacar, teman. Ada risiko penularan IMS atau HIV/AIDS karena tidak bisa diketahui perilaku seksual si cewek, pacar atau teman tsb. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H