"Malawi bukan negara kaya, namun telah melakukan upaya yang luar biasa dalam menekan tingkat infeksi HIV dan kematian yang disebabkan oleh AIDS," ujar Levy.
Lalu, apa yang dilakukan Malawi sehingga negeri itu bisa menurunkan prevalensi HIV/AIDS?
Sejak tahun 2016 Malawi memanfaatkan "drone" untuk menyingkat waktu untuk melakukan tes HIV terhadap bayi-bayi yang tinggal di kawasan pedesaan yang tidak mempunyai akses transportasi yang lancar. Hambatan akses transportasi dan kekurangan biaya transportasi sering menjadi penyebab tes HIV terlambat dan menghambat akses ke fasilitas kesehatan, khususnya pengobatan HIV/AIDS.
Diagnosis dini HIV sangat penting karena merupakan waktu yang tepat untuk memulai pengobatan dengan obat ARV sehingga pengidap HIV/AIDS memperoleh peluang untuk hidup sehat dan hidup yang lebih lama serta menurunkan risiko menularkan HIV.
UNAIDS menyebutkan bahwa sekarang Malawi memiliki tingkat prevalensi HIV yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.
Di Indonesia deteksi dini HIV sangat terbatas yaitu kepada ibu-ibu hamil yang tidak diwajibkan dan hanya dilakukan di fasilitas kesehatan milik pemerintah. Itu artinya ibu hamil yang terjangkau sangat terbatas karena kalangan menengah ke atas memilih fasilitas kesehatan swasta yang tidak terjangkau anjuran tes HIV terhadap ibu hamil.
Yang lebih celaka lagi banyak suami yang menolak tes HIV ketika istrinya yang hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Bahkan, ada yang justru menuding istrinya selingkuh sehingga tertular HIV.
Sedangkan terhadap pasien di rumah sakit pemerintah hanya berdasarkan Provider Initiated Testing and Counselling (PITC) atau Tes dan Konseling HIV Atas Inisiasi Petugas Kesehatan. Tentu saja ini pun tidak efektif karena tidak ada aturan yang kuat.
Maka, ketika insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung tidak bisa ditangani, maka pemerintah diaharapkan segera membuat regulasi bisa dalam bentuk UU, Keppres, Perpres, dan Perda yang mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling HIV/AIDS yang selanjutnya wajib tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Agar tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM), maka kewajikan konseling HIV/AIDS diberlakukan terhadap warga yang berobat ke fasilitas kehatan pemerintah. Itu artinya ada pilihan sehingga tidak melawan hukum dan melanggar HAM.
Tidak ada lagi waktu untuk 'debat kusir' karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang merupakan 'bom waktu' menuju 'ledakan AIDS'. Survei Kemenkes RI menunjukkan akhir tahub 2012 ada 6,7 laki-lak Indonesia yang jadi pelanggan setia PSK. Dari jumlah ini 4,9 juta beristri (antarabali.com, 9/4-2013). *