Mungkin Anda juga akan bingung tujuh keliling seperti guru agama di sebuah kota di Sumut ini karena dia yakin betul perilaku seksualnya tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Tapi, mengapa anak keduanya lahir dengan AIDS?
Seorang teman aktivis AIDS di Kota Medan mengontak saya melalui telepon awal tahun 2000-an, "Bang, ini ada kasus guru agama terdeteksi HIV sekeluarga, kecuali anak pertama," kata teman itu.
Jika hanya dengan data itu tentulah tidak akan bisa diketahui persoalan yang terjadi pada keluarga guru agama itu. Bermula ketika anak kedua lahir. Karena terkait dengan kondisi kesehatan bayi, dokter menganjurkan agar anak menjalani tes HIV. Hasilnya positif. Selanjutnya si ibu pun dites dan hasilnya juga positif. Begitu juga suami hasil tesnya pun positif.
"Dari mana AIDS masuk ke keluarga itu?"
Pertanyaan itu jugalah yang jadi perhatian aktivis tadi. Melalui konseling yang komprehensif akhirnya guru agama itu buka rahasia bahwa dia punya istri lain.
Ini pintu masuk untuk menelusuri asal HIV/AIDS pada istri pertama dan anak kedua dari istri pertama.
Teka-teki tentang asal-usul AIDS pada guru agama, istri pertama dan anak kedua dari istri pertama terkuak sudah. Guru agama itu tertular HIV dari istri kedua yang selanjutnya menularkan HIV ke istri pertamanya dan berakhir pada anak kedua mereka.
Ternyata istri kedua guru agama itu adalah seorang perempuan yang sudah pernah menikah yang kemudian bercerai dan menikah dengan guru agama tadi. Maka, istri kedua guru agama ini tertular dari mantan suaminya.
Bertolak dari kasus ini menikah dengan laki-laki atau perempuan yang bercerai perlu waspada karena bisa saja perilaku seksual pasangan mereka sebelumnya merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Tentulah tidak mudah menelusuri perilaku seksual calon pasangan yang akan dinikahi, dan tidak pula elok bertanya ke calon pasangan tentang perilaku seksual mantan pasangannya.
Maka, langkah yang paling arif adalah bersama-sama menjalani tes HIV dengan catatan harus memperhatikan masa jendala yaitu hasil tes akurat jika dilakukan minimal tiga bulan sejak hubungan seksual terkahir. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H