Jika ada pemberian penghargaan bagi orang-orang yang disebut-sebut berjasa untuk pers (khususnya media cetak), dengan sebutan 'tokoh pers nasional', terkadang menimbulkan pertanyaan tentang kompetensi orang tsb. dalam dunia jurnalistik. Apakah orang tsb. memenuhi kriteria sebagai wartawan?
Maka, berita di Harian "KOMPAS" (29/3-2018): "Syarat Dewan Pers Berisiko Jegal Jurnalis" jadi penting karena wartawan sebagai salah satu dari dua profesi yang diakui dunia, yang lain adalah pengacara, sudah disalahgunakan oleh pemilik uang. Mereka membeli SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan SIT (Surat Izin Tjetak) di masa Orde Baru dan langsung jadi pemimpin redaksi.
Padahal, sebelum reformasi peraturan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) menyebutkan pemimpin redaksi media massa haruslah pemegang kartu pers PWI kualifiasi anggota biasa. Kualifikasi ini diperoleh melalui jenjang: mendaftar sebagi calon anggota selama 6 bulan (PWI akan mengamati apakah media massa tsb. terbit sesuai ketentuan selama 6 bulan), setelah lolos ikut ujian untuk jadi calon anggota. Dua tahun kemudian ujian lagi untuk kualifikasi anggota muda (punya hak pilih tapi tidak bisa dipilih jadi pengurus PWI Pusat dan cabang). Setelah angtota muda dua tahun kemudian, jika media ybs. rutin terbit, ujian untuk kualifikasi anggota biasa (bisa dipilih dan memilih jadi pengurus PWI Pusat dan cabang).
Dengan fenomena pembelian SIUPP dan SIT itu sering terdengar keluhan bahwa ada 'perintah' dari pemerintah (baca: Departemen Penerangan/Deppen) untuk memberikan status anggota biasa istimewa untuk orang-orang tertentu yang membeli SIUPP dan SIT agar bisa jadi pemimpin redaksi.
Celakanya, setelah reformasi kondisinya tidak lebih baik. Malah jauh lebih buruk karena tidak ada lagi persyaratan khusus untuk menerbitkan media cetak dan medi online. Hanya perlu badan hukum (PT). Maka, semua orang pun bisa jadi pemimpin redaksi nir kemampuan menulis berita.
Seperti yang diberitakan "KOMPAS" persyaratan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) yang hanya membutuhkan fotocopy Kartu Pers yang masih berlaku dan surat keterangan dari pemimpin redaksi. Maka, siapa pun bisa mengikuti UKW karena saat ini kartu pers bertebaran di masyarakat karena tidak ada persyaratan khusus untuk menerbitkan media cetak dan online.
Maka, amatlah benar cara yang dilakukan banyak media di luar negeri yaitu pada setiap berita dicantumkan nama wartawan (dikenal sebagai "by line") yang menulis berita tsb. Ini sesuai dengan defenisi wartawan pada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers di pasal 1 ayat 4: Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Nah, kalau ada orang yang karena uang jadi pemimpin redaksi dan mempunyai kartu pers media yang dipimpinnya: Tapi tidak pernah menulis berita, apakah masuk kategori wartawan seperti yang diamanatkan oleh UU Pers?
Apakah pemimpin redaksi harus dipegang oleh wartawan?
Ya. Kalau pemimpin perusahaan boleh saja pemilik modal dan tidak pula boleh pegang kartu pers karena urusannya perusahaan bukan manajemen berita.
Celakanya, tidak ada mekanisme yang bisa mengungkap seperti apa kualitas dan kualifikasi pemimpin redaksi itu atau orang-orang yang menerima penghargaan di bidang pers (jurnalistik).
Kalau memang pemilik uang yang jadi pemimpin redaksi itu dinilai layak menerima penghargaan, mbok ya jangan sebut tokoh pers nasional, tapi sebutlah mereka dengan tokoh penguasa (maaf, pengusaha) pers nasional!
Tapi, untuk menerima sertifikat UKW pun rupanya tidak mudah biarpun dinyatakan lulus. Pengalaman penulis yang ikut UKW Angkatan XVI di PWI Jaya sampai hari ini belum menerima sertifikat. Pertama, dikatakan dokumen hilang di PWI Pusat. Setelah diisi ulang dan dikirim via PWI Jaya dikabari foto tidak cocok. Ya, apa mau dikata. Terpaksa ke studio foto dan pasfoto pun sudah dikirimkan ke PWI Pusat. Entah di mana sertifikat itu nyangkut. Pers nasional gembar-gembor mengritik administrasi pemerintah, tapi administrasi dewe ternyata tidak lebih baik.
Di masa Orba pengalaman pahit saya alami. Ketika hendak wawancara di Bekasi harus ada rekomendasi dari PWI Cabang Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung. Ini benar-benar edan. Lalu, Presiden BJ Habibie pun mau mengatur wartawan dengan membuat 'jam bicara'. Ini juga benar-benar tidak masuk akal karena wartawan bekerja tanpa batas waktu.
Bayangkan, seorang wartawan ditetapkan jam bicaranya pukul 08.00 -- 12.00. Eh, pukul 13.00 ada kejadian yang memenuhi syarat sebagai berita. Lalu, piye? Ah, di luar jam bicara.
Disebutkan oleh Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, agar bisa mengikuti uji kompetensi, wartawan freelance sebaiknya bergabung dengan organisai profesi wartawan tertentu yang bisa memberikan rekomendasi.
Persoalan tidak sebatas kartu pers dan rekomendasi, tapi apakah orang tsb. benar-benar wartawan seperti yang diamanatkan oleh UU Pers. Ini yang jadi persoalan besar, Saudara.
Orang-orang yang tidak kompeten sebagai wartawan tapi memegang sertifikat UKW. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bisa ikut UKW, biaya UKW Rp 1,5 juta dan bervariasi di tiap daerah, tapi memenuhi kriteria wartawan justru dianggap tidak kompeten hanya karena tidak punya sertifikat UKW.
Maka, tidaklah arif menyebut media tempat wartawan tanpa sertifikat UKW sebagai media abal-abal karena orang-orang yang tidak kompeten sebagai wartawan tapi punya sertifikat UKW justru lebih abal-lagi lagi.
Ada baiknya media massa, khususnya media cetak dan media online, menerapkan "by line" agar masyarakat juga bisa mengenal dan mengawasi siapa wartawan yang memang kompeten karena menulis berita bukan karena memegang sertifikat UKW. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H