Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wartawan Tanpa Berita

29 Maret 2018   13:32 Diperbarui: 29 Maret 2018   13:32 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau memang pemilik uang yang jadi pemimpin redaksi itu dinilai layak menerima penghargaan, mbok ya jangan sebut tokoh pers nasional, tapi sebutlah mereka dengan tokoh penguasa (maaf, pengusaha) pers nasional!

Tapi, untuk menerima sertifikat UKW pun rupanya tidak mudah biarpun dinyatakan lulus. Pengalaman penulis yang ikut UKW Angkatan XVI di PWI Jaya sampai hari ini belum menerima sertifikat. Pertama, dikatakan dokumen hilang di PWI Pusat. Setelah diisi ulang dan dikirim via PWI Jaya dikabari foto tidak cocok. Ya, apa mau dikata. Terpaksa ke studio foto dan pasfoto pun sudah dikirimkan ke PWI Pusat. Entah di mana sertifikat itu nyangkut. Pers nasional gembar-gembor mengritik administrasi pemerintah, tapi administrasi dewe ternyata tidak lebih baik.

Di masa Orba pengalaman pahit saya alami. Ketika hendak wawancara di Bekasi harus ada rekomendasi dari PWI Cabang Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung. Ini benar-benar edan. Lalu, Presiden BJ Habibie pun mau mengatur wartawan dengan membuat 'jam bicara'. Ini juga benar-benar tidak masuk akal karena wartawan bekerja tanpa batas waktu.

Bayangkan, seorang wartawan ditetapkan jam bicaranya pukul 08.00 -- 12.00. Eh, pukul 13.00 ada kejadian yang memenuhi syarat sebagai berita. Lalu, piye? Ah, di luar jam bicara.

Disebutkan oleh Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, agar bisa mengikuti uji kompetensi, wartawan freelance sebaiknya bergabung dengan organisai profesi wartawan tertentu yang bisa memberikan rekomendasi.

Persoalan tidak sebatas kartu pers dan rekomendasi, tapi apakah orang tsb. benar-benar wartawan seperti yang diamanatkan oleh UU Pers. Ini yang jadi persoalan besar, Saudara.

Orang-orang yang tidak kompeten sebagai wartawan tapi memegang sertifikat UKW. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bisa ikut UKW, biaya UKW Rp 1,5 juta dan bervariasi di tiap daerah, tapi memenuhi kriteria wartawan justru dianggap tidak kompeten hanya karena tidak punya sertifikat UKW.

Maka, tidaklah arif menyebut media tempat wartawan tanpa sertifikat UKW sebagai media abal-abal karena orang-orang yang tidak kompeten sebagai wartawan tapi punya sertifikat UKW justru lebih abal-lagi lagi.

Ada baiknya media massa, khususnya media cetak dan media online, menerapkan "by line" agar masyarakat juga bisa mengenal dan mengawasi siapa wartawan yang memang kompeten karena menulis berita bukan karena memegang sertifikat UKW. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun