Begitu juga dengan "mewajibkan pemeriksaan intensif bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang baru pulang dari luar negeri". Tidak semua TKI melakukan perilaku berisiko tertular HIV selama bekerja di luar negeri. Sebaliknya, warga Jatim yang melawat ke luar negeri untuk berbagai keperluan bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar negeri, misalnya, melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan atau laki-laki selama di luar negeri.
Kalau konteksnya luar negeri, maka bukan hanya TKI tapi semua warga Jatim yang baru pulang dari luar negeri diwajibkan tes HIV agar tidak diskriminatif, melawan hukum dan melanggar HAM.
Di bagian lain Hartoyo mengatakan: "Penyelesaian Perda tersebut, ditargetkan selama dua bulan. Ini mengingat, arus tenaga kerja asing yang masuk ke Jatim semakin meningkat." Ini benar-benar tidak masuk akal karena HIV tidak bisa ditularkan melalui kegiatan sehari-hari, secara sosial dan di tempat kerja.
Pernyataan Hartoyo ini bisa diartikan bahwa warga Jatim akan melakukan perilaku seksual yang berisiko dengan tenaga kerja asing sehingga perlu diantisipasi dengan 'pemeriksaan intensif' terhadap tenaga kerja asing.
Apakah ini langkah yang arif dan bijaksana?
Tidak! Adalah hal yang mustahil melakukan tes HIV terhadap semua pekerja asing setiap saat karena hasil tes HIV hanya berlaku sampai pengambilan contoh darah untuk dites. Setelah tes HIV, biar pun hasilnya negatif, bisa saja terjadi penularan HIV kalau ybs. melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Mengusung Mitos
Itu artinya tes HIV bari pekerja asing tidak ada manfaatnya karena bak 'menggantang asap' yang buang-buang tenaga dan dana. Soalnya, risiko tertular HIV terjadi kapan saja sehingga tes HIV harus dilakukan juga setiap saat.
Jatim merupakan satu daerah yang getol menutup lokalisasi pelacuran. Â Menurut Soekarwo (Gubernur Jatim-pen.), di Jawa Timur terdapat 47 lokalisasi yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota. Itu sebabnya dia mengatakan Balong Cangkring merupakan lokalisasi prostitusi terakhir yang ditutup. (nasional.tempo.co, 22/5-2016). Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pun menutup lokalisasi pelacuran terkenal di Kota Surabaya, Dolly, 19/6-2014.
Kalau penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran itu terkait dengan HIV/AIDS tentu saja penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya khususnya dan Jatim umumnya bisa dikendalikan. Tapi, fakta menunjukkan Maret 2018 terdeteksi 80 bayi yang lahir di RS Dr Soetomo, Surabaya, mengidap HIV/AIDS.
Kemungkinan pertama ibu bayi-bayi itu mengidap HIV karena tertular dari suami. Sedangkan suami mereka tertular HIV karena melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). PSK sendiri dikenal ada dua macam, yaitu: