Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tolong, Saya Lagi Hamil!"

18 Maret 2018   08:59 Diperbarui: 18 Maret 2018   18:27 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: news.detik.com)

*Mengatur Pintu Tempat Naik dan Turun Penumpang di Gerbong KRL

Itulah suara lirih dan gemetar seorang perempuan muda yang akan turun dari gerbong KRL di Sta. Tanah Abang, Jakarta Pusat, 17/3-2018, pukul 19.45.

Kekhawatiran ibu muda itu sangat wajar karena di depan pintu sudah bergerombol calon penumpang yang berlomba-lomba naik agar bisa dapat tempat duduk. Imbauan yang disiarkan melalui pengeras suara agar mendahulukan penumpang yang turun sama sekali tidak diperdulikan calon penumpang KRL.

"Yang turun dulu. Yang turun dulu ...." Ini selalu disuarakan penumpang yang akan turun. Tapi, bisa jadi ketika mereka akan naik di waktu lain juga sama halnya dengan yang dia hadapi ketika hendak turun.

Ketika mendengar sudah ibu muda itu, saya sudah turun dengan mendorog calon penumpang yang akan naik. Saya merinding mendengar suara ibu muda itu. Saya sudah tidak bisa lagi berbalik ke belakang karena sudah ada di tengah-tengah kerumunan calon penumpang yang berdesakan dan saling dorong.

Di dalam gerbong pun sering saya mendengar permintaan dari perempuan: "Tolong, dong, saya lagi hamil.'

Selain itu petugas keamanan KRL juga sering meminta agar yang lebih muda memberikan tempat kepada yang berhak, terutama di tempat duduk di pojok-pojok gerbong. Celakanya, banyak juga yang duduk di sana pura-pura tidur.

Biar pun bukan di tempat duduk prioritas adalah sikap yang terpuji selalu memberikan tempat duduk kepada lansia, penyandang disabilitas, perempuan hamil, dan ibu yang membawa anak. Tapi, sebagian penumpang KRL merasa hanya di tempat duduk prioritaslah hal lansia, penyandang disabilitas, perempuan hamil, dan ibu yang membawa anak.

"Saya malu ketika melihat hal itu (maksudnya lansia atau perempuan berdiri di gerbong KRL-pen.) karena sangat bertolak belakang dengan situasi di Inggris," ujar seorang ayah muda. Setiap hari dia berangkat dari Serpong ke pusat kota Jakarta untuk bekerja. "Itu 'kan tak lebih dari 30 menit, masak iya laki-laki atau perempuan muda tidak kuat berdiri jika dibandingkan dengan lansia dan perempuan hami," kata pria itu sambil menggelengkan kepala.

Sebagian dari kita selalu menyebut orang Barat (Eropa Bara, Australia dan Amerika) sebagai bangsa yang tidak berbudaya dan beradab. Bahkan, tidak sedikit pula yang menuding mereka tak beragama. Tapi, dari perilaku sosial sehari-hari di social settings, seperti di bus kota atau gerbong KRL, jika dibandingkan dengan di Barat sono, apakah kita masih layak menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, beradab, dst.?

Selain itu ada juga yang salah kaprah. Tidak sedikit pula ibu-ibu muda yang tidak memakai akal sehat. Memang, ada hak ibu yang bawa balita, tapi balita di pangku sesuai petunjuk di dinding. Yang terjadi ibu-ibu yang bawa anak lebih dari satu justru menguasai tiga tempat duduk tsb. Bahkan, anak-anaknya sambil tiduran di tempat duduk umum di bagian tengah.

Di peron memang ada garis-garis dan tanda panah yang menentukan jalur turun dan naik, tapi sering tidak pas ketika KRL berhenti.  Lagi pula garis-garis dan panah itu tidak berbicara.

Sudah saatnya  PT KAI Commuter Jabodetabek, yang mengoperasikan KRL,  menerapkan cara-cara yang lebih tegas. Setiap gerbong KRL ada 3 pintu. Nah, pintu tengah ditetapkan sebagai pintu keluar sehingga arus penumpang di gerbong dari dua ujung ke arah tengah.

Sedangkan calon penumpang naik dari dua pintu di kiri kanan pintu tengah sehingga arus calon penumpang menuju ke tengah di dalam gerbong.

Di loket Sta KA Krenceng, Cilegon, Banten, misalnya, selalu ada petugas untuk memaksa calon penumpang antre. Tapi, tetap saja yang memotong antrean. Ada yang pura-pura bego dan berbagai macam ulah penyerobot. Maka, petugas di loket pun harus tegah menolak calon penumpang yang tidak melalui antrean.

Pada tahap awal dilakuan sosialisasi yang gencar tentang pola turun-naik gerbong KRL, tapi pada tahap berikutnya dikenakan sanksi hukum dalam bentu kerja sosial. Misalnya, membersihkan gerbong KRL, menyapu peron atau menyikat WC stasiun.

Tanpa penegakan hukum yang tegas tidak akan pernah tercapai kedisiplinan. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun