Di peron memang ada garis-garis dan tanda panah yang menentukan jalur turun dan naik, tapi sering tidak pas ketika KRL berhenti. Â Lagi pula garis-garis dan panah itu tidak berbicara.
Sudah saatnya  PT KAI Commuter Jabodetabek, yang mengoperasikan KRL,  menerapkan cara-cara yang lebih tegas. Setiap gerbong KRL ada 3 pintu. Nah, pintu tengah ditetapkan sebagai pintu keluar sehingga arus penumpang di gerbong dari dua ujung ke arah tengah.
Sedangkan calon penumpang naik dari dua pintu di kiri kanan pintu tengah sehingga arus calon penumpang menuju ke tengah di dalam gerbong.
Di loket Sta KA Krenceng, Cilegon, Banten, misalnya, selalu ada petugas untuk memaksa calon penumpang antre. Tapi, tetap saja yang memotong antrean. Ada yang pura-pura bego dan berbagai macam ulah penyerobot. Maka, petugas di loket pun harus tegah menolak calon penumpang yang tidak melalui antrean.
Pada tahap awal dilakuan sosialisasi yang gencar tentang pola turun-naik gerbong KRL, tapi pada tahap berikutnya dikenakan sanksi hukum dalam bentu kerja sosial. Misalnya, membersihkan gerbong KRL, menyapu peron atau menyikat WC stasiun.
Tanpa penegakan hukum yang tegas tidak akan pernah tercapai kedisiplinan. *