Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenal Disfungsi Seksual pada Perempuan

15 Februari 2018   13:26 Diperbarui: 16 Februari 2018   08:57 1886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: arablifestyle.com)

Ada fenomena terkait seksualitas yang luput dari perhatian tentang hubungan seksual, yaitu anggapan bahwa: laki-laki selalu mau tapi tidak selalu bisa, sedangkan perempuan selalu bisa tapi tidak selalu mau.

Ada kemungkinan karena anggapan perempuan selalu bisa melakukan hubungan seksual sehingga tidak ada anggapan bahwa perempuan pun ada yang mengalam disfungsi seksual. Selain itu disfungsi seksual selalu dikaitkan dengan kegagalan ereksi pada laki-laki. 

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul berbagai cara untuk meningkatkan daya (juang) seks laki-laki. Mulai dari tradisional (minyak oles, pijit, dll.) sampai medis (seperti Viagra, dll.).

Memang, di beberapa pojok Jakarta, misalnya, terpampang iklan obat perkasa untuk laki-laki. Di media cetak pun ada iklan untuk membesarkan penis, membuat tahan lama (long play), dll. Sebaliknya, penulis belum pernah menemukan penawaran obat untuk keperkasaan perempuan.

Selama ini disfungsi (terganggu kegunaannya) hanya dikaitkan dengan, maaf, impotensi (KBBI: tidak ada daya untuk bersanggama; mati pucuk; lemah syahwat) pada laki-laki. Artinya disfungsi seksual bisa dilihat, sedangkan pada perempuan disfungsi seksual tidak terjadi pada alat kelamin tapi pada kondisi psikologis sehingga tidak bisa dilihat.

Ketika penyakit-penyakit menular seksual, seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), klamidia, virus hepatitis B, virus kanker serviks dan HIV/AIDS sering dibawa ke rumah oleh suami atau pasangan yang tidak bertangung jawab, diterangai bisa juga mendorong disfungsi seksual karena perempuan merasa terancam karena takut tertular.

Sudah banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika mereka menjalani tes HIV waktu hamil. Selain itu kanker serviks jadi penyebab kematian perempuan nomor dua di Indonesia. Data KICKS (Koalisi Indonesia Cegah Kanker Serviks) menyebutkan 26 perempuan di Indonesia meninggal setiap hari karena kanker serviks. (Baca juga: Kanker Serviks Bukan Hanya Ulah Perempuan Semata).

Disfungsi seksual tidak hanya terkait pada laki-laki tentang bisa atau tidak bisa melakukan hubungan seksual. Pengertian disfungsi seksual lebih luas dari sekedar impotensi yaitu siklus respons seksual yakni situasi atau kondisi (disebut fase) sebelum, selama dan sesudah hubungan seksual. Kondisi ini bisa dialami oleh laki-laki dan perempuan.

Kegagalan atau disfungsi seksual bisa terjadi pada tahapan-tahapan atau fase siklus respon seksual. Berbagai faktor, baik dari dalam diri perempuan (psikis dan psikologis) maupun dari pasangan, bisa menyebabkan disfungsi seksual.

siklus-seksual-5a8526e6dd0fa84c033715c2.jpg
siklus-seksual-5a8526e6dd0fa84c033715c2.jpg
Diawali dengan foreplay yaitu aktivitas fisik dan non-fisik di zona erotis, seperti membelai, meraba, mencium, membisik, dll. untuk membangkitkan gairah seksual yang ditandai dengan kegembiraan, kegirangan dan kesenangan sebagai pintu masuk untuk fase hubungan seksual.

Fase merupakan stimulasi untuk laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan perubahan pada bagian-bagian badan yang terkait dengan sensualitas, seperti penis mulai menegang pada laki-laki, sedangkan pada perempuan keluar cairan vagina dan payudara menegang. Pada laki-laki dan perempuan denyut nadi meningkat dan dengusan napas cepat.

Pada fase ini bisa terjadi disfungsi seksual para perempuan, misalnya, tidak ada gairah dan tidak terangsang yang bisa terjadi karena foreplay tidak memenuhi hasrat seksual perempuan. Bagi banyak perempuan hubungan seksual mereka jadikan sebagai perwujudan fantasi seksual yang ada di benak mereka. Kegagalan terjadi jika pasangan tidak bisa memainkan foreplay yang benar-benar bisa menimbulkan gairah.

Sedangkan pada laki-laki fase ini (foreplay) juga bisa terjadi kegagalan untuk berlanjut ke hubungan seksual. Pada laki-laki dikenal sebagai ejakulasi dini (ejakulasi air mani terpancar). Akibatnya penis tidak tegang lagi. 

Sedangkan pada perempuan tidak ada respon, seperti cairan vagina tidak keluar sehingga membuat hubungan seksual terasa seperti "neraka" karena perih dan nyeri.

Jika fase foreplay lancar tahap selanjutnya adalah penetrasi yang ditandai dengan perasaan nikmat untuk mencapai puncak (disebut ejakulasi pada laki-laki dan orgasme pada perempuan). Pada fase ini sering terjadi kesenjangan yaitu waktu ejakulasi tidak sama dengan orgasme. Yang jadi masalah setelah ejakulasi umumnya penis tidak lagi tegang sehingga tidak bisa merangsang seksualitas perempuan.

Pada pasangan yang terbuka upaya agar ejakulasi dan orgasme bersamaan dibangun sejak foreplay sehingga perjalanan menuju puncak juga dibangun bersama-sama. Tanpa keintiman akan sulit membangun jalan kebersamaan menuju puncak, apalagi laki-laki merasa memainan peran sebagi pemegang hak sehingga mengabaikan hak pasangan yang juga menginginkan puncak kenikmatan.

Gejala-gejala disfungsi seksual pada perempuan hanya bisa dikenali dan dirasakan oleh perempuan dan sebagian laki-laki yang memahami kondisi pasangannya dengan baik. Salah satu ciri khas orgasme, misalnya, penegangan pada otot dan desahan suara serta gerakan-gerakan anggota badan. Tapi, ini bisa saja dilakukan tanpa harus orgasme. 

Seorang perempuan yang tidak in-tune ketika sanggama, misalnya, bisa saja melakukan hal itu untuk memuaskan pasangannya. Itulah yang sering dilakukan oleh pekerja seks komersial (PSK) dengan harapan laki-laki 'hidung belang' segera mengakhiri perjalanannya (Baca juga: Duka Derita PSK di "Sarkem" Yogyakarta).

Yang tidak masuk akal banyak suami yang justru tidak menjalin keintiman dengan istri sehingga sering terjadi hanya suami yang menikmati hubungan seksual. Kondisinya kian runyam karena tidak banyak suami yang memperhatikan apakah istrinya sudah orgasme atau belum. Sebaliknya, ketika "jajan" banyak laki-laki yang mencari obat dan peralatan seks agar bisa tahan lama dengan tujuan PSK mengalami orgasme.

Disfungsi seksual perempuan setelah penetrasi bisa terjadi yaitu tidak mengalami orgasme. Bisa karena belum mencapai puncak tapi rangsangan (penis) tidak ada lagi, atau memang tidak ada gairah sehingga tidak ada dorongan untuk menikmati hubungan seksual.

Pada fase ejakulasi yang bersamaan dengan orgasme terjadi suasana euforia yang menandai keintiman pasangan. Ini tidak berlangsung lama. Sebagian laki-laki akan langsung meninggalkan pasangannya setelah ejakulasi.

Setelah ejakulasi dan orgasme ada fase peregangan yang juga ditandai dengan gerakan-gerakan fisik yang erotis dan bisikan-bisikan mesra. Gerakan-gerakan pelan karena kondisi tubuh yang kelelahan yang ditandai dengan otot yang kendor.

Pada fase ini ada kemungkinan perempuan mengalami orgasme, bahkan bisa beberapa kali. Kelegaan menjadi hasil akhir dari fase-fase respons seksual yang pada laki-laki akan jadi "obat tidur".

Karena disfungsi seksual hanya bisa diketahui oleh perempuan sendiri, maka perlu langkah-langkah yang komprehensif untuk mengatasinya. Jika dari asal pasangan tidak peduli itu artinya perlu mencari bantuan, misalnya, ke psikolog.

Tidak baik membiarkan disfungsi seksual karena bisa saja mempengaruhi kondisi psikologis dan kesehatan yang pada akhirnya merugikan diri sendiri (dari berbagai sumber). *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun