Belakangan ini sering terjadi tanah longsor dan banjir bandang: Apakah kita  masih tetap menyalahkan alam?
Penanggulangan longsor, banjir dan banjir bandang pun selama ini hanya di hilir "bak pemadam kebakaran". Korban diungsikan. Bahan makanan dan kebutuhan ain dipenuh, tapi tidak ada upaya penanganan yang komprehensif di hulu agar longsor, banjir dan banjir bandang tidak terjadi lagi atau paling tidak direduksi.
Ini tanggapan Walikota Bandung, Ridwan Kamil, ketika Kota "Kembang" Bandung dilanda banjir hebat (26/10-2016): Soal Banjir, Tak Mungkin Menantang Tuhan. "Ada faktor alam sekian persen tidak bisa dijamin bahwa itu selesai, kata kita kota sudah keren sudah canggih. Tidak ada yang mengatakan tidak ada potensi banjir. Tidak mungkin menantang Tuhan." (kompas.com, 1/11-2016).
Mengatasi banjir bukan menantang Tuhan karena hal itu merupakan upaya  manusia untuk melindungi diri dan alam dari kerusakan. Justru melindungi diri merupakan sesuatu yang menjadi kewajiban manusia.
Lereng-lereng di seputar permukinan, lahan pertanian dan  daerah aliran sungai (DAS) dahulu jarang longsor karena ada akar bambu yang mengikat tanah seperti yang tertuang dalam peribahasa: Ibarat aur dengan tebing. Bambu hidup dari tanah (tebing) dan tebing pun terjaga karena dirangkul akar bambu.
Namun, banyak di antara kita yang mengabaikan peribahasa itu. Banjir di Kota Bandung (2016) dan banjir bandang di banyak daerah justru terjadi karena ulah manusia yang merusak lingkungan hidup yang sudah disediakan Tuhan sebagai ekosistem untuk mendukung kehidupan.
Air hujan yang turun ke permukaan tanah akan merembes ke dalam tanah melalui akar-akar pohon besar sehingga tidak terjadi run off (aliran air di atas permukaan tanah). Tapi, ketika lereng-lereng di area tangkapan hujan (chathment area) di kawawan DAS (daerah aliran sungai) dijadikan permukiman dan lahan tanaman palawija pohon-pohon besar pun habis ditebang sehingga lereng-lereng dalam kondisi terbuka.
Pemerintah sendiri mengatur penggunaan lereng yaitu di atas kemiringan 30 derajat jadi hutan lindung sebagai cathment area bagi DAS. Tapi, fakta menunjukkan, seperti di bagian utara Kota Bandung, di kawasan Puncak (Kab Bogor dan Kab Cianjur), serta di daerah lain lereng di atas kemiringan 30 derajat justru jadi tempat membangun villa, hotel, perumahan dan pertanian palawija. Ada juga yang jadi lahan kebun sawit yang tidak berbeda dengan holtikultura karena akarnya tidak membawa air ke bawah permukaan tanah.
Di sisi lain air hujan yang jadi run off itu pun membuat daerah di sekitar area kering karena tidak ada pengisian ulang (recharge) air tanah yang disedot untuk berbagai keperluan. Air hujan yang turun di kawasan Puncak bisa jadi jadi sumber air untuk pengisian ulang air tanah pada jalur Puncak ke Jakarta.
Hujan yang dikabarkan terus mengguyur kawasan Puncak menyebabkan longsor di kawasan Puncak pada Senin, 5 Februari 2018 dan mengirim air ke Jakarta. Ketinggian air sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, Bogor, ada pada posisi 250 cm yang akan membuat Jakarta Banjir.
Air hujan yang jadi run off itu pun mengikis lapisan humus lahan pertanian pada lereng-lereng yang dijadikan lahan pertanian holtikultura itu. Maka, petani pun tidak punya pilihan selain meningkatkan pemakaian pupuk buatan (kimia) yang pada akhirnya merusak lingkungan hidup pula.
Soal penyalahgunaan fungsi lahan pada lereng di atas kemiringan 30 derajat tentulah tanggung jawab pemeirntah daerah yang memberi izin atau membiarkan warga melakukan alih fungsl lahan. Tapi, Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, ketika meninjau dan membagikan sumbangan untuk korban banjir di Bekasi dengan mengatakan: "Saya harap masyarakat bersabar. Juga harus introspeksi, apakah banjir ini karena ulah kita atau bukan." (Cek Banjir Bekasi, Wagub Deddy Mizwar Minta Warga Sabar dan Introspeksi, detiknews, 19/1-2014).
Untuk apa warga Bekasi introspeksi karena banjir yang menerjang wilayah mereka justru datang dari hulu. Maka, pengawasan alih fungsi lahan, khususnya pada lereng di atas kemiringan 30 derajat, sepenuhnya jadi tanggung jawab pemerintah daerah karena di erat otonomi daerah perizinan ada di tangan bupati dan walikota.
Perlu juga ada neraca untung rugi pemanfaatan lereng di atas kemiringan 30 derajat agar masyarakat memahami dampak buruk alih fungsi lahan tsb. Neraca inilah yang disosialisasikan secara simultan dengan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi di lereng-lereng dengan kemiringan di atas 30 derajat.
Tanpa langkah yang konkret alam negeri ini akan porak-poranda karena ulah segelintir orang yang mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan kekuasaan yang diberikan rakyat (baca: UU Otonomi Daerah). Â *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H