Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Celakanya Informasi HIV/AIDS yang Menyesatkan dalam Berita

26 Januari 2018   09:20 Diperbarui: 27 Januari 2018   14:08 1885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kpakabtangerang.or.id

Salah satu kunci keberhasilan Thailand menurunkan indisen infeksi HIV baru adalah penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat dengan skala nasional yaitu meningkatkan peran media massa sebagai media pembalajaran masyarakat. Ini langkah pertama dari lima langkah Thailand untuk menanggulangi HIV/AIDS secara simultan (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).

Estimasi kasus baru di Indoneia 48.000. Bandingkan dengan Thailand yang pernah mencatat kasus mendektai 1 juta tapi kasus baru turun drastis pada angka 6.400 (aidsdatahub.org). Sebagian besar berita di Indonesia justru tidak memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, HIV/AIDS penyakit homoseksual. Ini terjadi sampai hari ini. Seperti yang disebutkan oleh Rosmelia, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) merupakan gaya hidup yang potensial menyebarkan infeksi penyakit HIV/AIDS. Ini lead pada berita "LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS", tribunnews.com, 23/1-2018).

Pertama, tidak ada kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian sehingga penyebutan LGBT dalam konteks penyebaran HIV/AIDS salah kaprah.

Kedua, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (homoseksual, LGBT, zina, seks pranikah, seks di luar nikah, melacur, selingkuh, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksal (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap hubungan seksual).

Ketiga, fakta menunjukkan kasus AIDS terbanyak di Indonesia bukan pada kalangan homoseksual (tertarik secara seksual kepada sejenis yaitu gay dan waria) serta biseksual (secara seksual tertarik kepada lawan jenis dan sejenis, tapi ada pada kalangan heteroseksual (laki-laki tertarik secara seksual kepada perempuan dan sebaliknya). Lihat tabel.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Keempat, kasus HIV/AIDS pada gay khususnya ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri. HIV/AIDS ada di komunitas gay.

Kelima, yang potensial menyebarkan HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah biseksual. Celakanya, biseksual tidak kasat mata.

Disebutkan oleh Rosmelia kasus baru HIV/AIDS di Indonesia 48.000 per tahun. Ini adalah estimasi bukan temuan kasus.

Ini juga disebutkan oleh Rosmelia: saat ini ada 600.000 orang yang terjangkit HIV/AIDS. Ini juga estimasi. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017 menyebutkan sampai tanggal 31 Maret 2017 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah 242.699 yg terdiri atas 330.152 HIV dan 87.453 AIDS.

Di bagian lain Rosmelia mengatakan: "50 persen dikarenakan homoseksual.

Lagi-lagi data ini tidak sesuai dengan fakta berupa laporan Kemenkes RI yaitu kasus AIDS pada homoseksual (gay dan waria) 4,23% dan biseksual 0,58% (lihat tabel).

Disebutkan lagi: Dari angka tersebut, hanya sekitar 13% persen yang berhasil diobati. Sampai hari ini tidak ada obat yang menyembuhkan HIV/AIDS, yang ada adalah obat untuk menghambat laju penggandaan HIV di dalam tubuh sehingga pengidap HIV/AIDS yang meminum obat antiretroviral (ARV) secara rutin akan tetap bisa hidup layak.

Lagi-lagi Rosmelia menekankan: "Gaya hidup homoseksual merupakan jalur yang paling memudahkan inveksi HIV/AIDS masuk."

Yang meningkatkan risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan gaya hidup dan orientasi seksual, tapi perilaku seksual orang per orang. Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika dilakukan dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga menunjukkan penularan HIV terjadi dalam ikatan pernikahan.

Yang memudahkan terinfeksi HIV melalui hubungan seksual adalah jika hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, sering dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan pelaku kawin-cerai.

Rosmelia juga mengatakan: "HIV/AIDS ibu ke anak, angkanya juga bertambah besar setiap tahun, sehingga menjadi suatu ancaman bagi kelangsungan generasi muda di Indonesia."

Celakanya, Rosmelia tidak menjelaskan mengapa dan bagaimana ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS. Informasi yang akuat tentang hal ini yang sangat penting agar masyarakat paham bahwa perilaku seksual suami-suami yang berisiko akan membawa HIV/AIDS ke rumah.

Sudah saatnya informasi HIV/AIDS yang disampaikan ke wartawan berpijak pada fakta medis bukan sebaga orasi moral yang justru menyuburkan mitos yang pada gilirannya jadi pembodohan publik. Jika ini terjadi insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang kelak bermuara pada "ledakan AIDS". 

foto:news.kgnu.org
foto:news.kgnu.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun