Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Raperda AIDS Tangsel, Apakah Kelak Ada Pasal-pasal Konkret Pencegahan HIV/AIDS?

21 Januari 2018   13:14 Diperbarui: 21 Januari 2018   13:13 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Acquired Immuno Deficieny Syndrome (AIDS), saat ini menjadi momok yang paling menakutkan masyarakat di berbagai penjuru dunia. Penyakit yang menyerang sistim kekebalan tubuh manusia ini, diketahui hingga kini belum ditemukan penawarnya." Ini lead pada berita "Perda Penanggulangan HIV-AIDS untuk Jaminan Hak Konstitusional Masyarakat" (tangerangonline.id, 16/1-2018).

Lead berita ini menunjukkan tingkat pengetahuan wartawan atau redaktur terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, kalau pun disebut jadi momok bukan AIDS tapi HIV karena HIV adalah virus yang menular melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan seseorang yang mengidap HIV/AIDS.

Kedua, AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV setelah 5-15 tahun kemudian yang ditandai dengan berbagai penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Ketiga, AIDS bukan penyakit atau virus sehingga tidak bisa menyerang sistem kekebalan manusia. Yang merusak sistem kekebalan manusia adalah HIV tapi bukan menyerang. Sebagai retrovirus HIV menggandakan diri pada sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih, yang juga disebut sistem imun manusia, yang dijadikan HIV sebagai 'pabrik' rusak. Virus-virus baru, jumlahnya mancapi miliran copy per hari, juga mengandakan diri lagi dengan memakai sel darah putih sebagai 'pabrik'. Begitu seteresnya sampai pada satu masa, disebut masa AIDS, dengan kondis sistem imnu manusia jadi sangat rendah.

Keempat, ada obat HIV/AIDS yaitu obat antiretroviral (ARV) yang menurunkan penggandaan HIV di darah. Obat ARV bukan menyembuhkan. Penyakit lain, seperti darah tinggi dan diabetes juga belum ada obat yang menyembukan, tapi ada obat untuk mengatasi penyakit ini.

Kelima, vaksin HIV juga belum ditemukan. Kalau kelak vaksin HIV ditemukan, maka banyak orang yang perilakunya seperti binatang karena tidak takut lagi tertular HIV [Baca juga: AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang Seperti Binatang].

Selain itu harapan untuk vaksin juga paradoks karena kondom yang juga mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual ditolak banyak kalangan (Baca juga: Ironis: Kondom Ditolak, Vaksin AIDS Ditunggu-tunggu).

Dalam berita disebutkan Anggota Komisi ll DPRD Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Shinta W Chairuddin, mengatakan bahwa masyarakat harus mengetahui dan mengenali tanda-tanda penularan penyakit mematikan tersebut agar terhindar AIDS.

Bukan tanda-tanda tapi cara-cara penularan. Masyarakat termakan mitos (anggapan yang salah) karena informasi tentang HIV/AIDS selalu bibalut dengan moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Misalnya, disebutkan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit pekerja seks komersial (PSK), laki-laki gay, pelaku seks menyimpang, dll.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, seks anal, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).

Ada juga pernyataan 'penyakit mematikan'. Ini salah karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS karena penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Disebut juga 'agar terhindar AIDS'. AIDS tidak menular karena bukan penyakit dan tidak pula virus.

Disebutkan: " .... penularan dan penyebaran HIV/AIDS sangat rentan dan berisiko bagi sejumlah kelompok seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), pemakai Narkoba, dan penjaja seks." Ini pernyataan Anggota Komisi ll DPRD Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Shinta W Chairuddin.

Kerentanan dan risiko tertular HIV bukan karena orientasi seksual dan kelompok, dalam hal ini LGBT, tapi karena perilaku seksual orang per orang. Seorang heteroseksual bisa rentan dan berisiko tinggi tertular HIV kalau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Itu artinya suami mereka melakukan perilaku seksual yang berisiko. Jika dikaitkan dengan rencana Pemkot Tangel membuat peraturan daerah (Perda) tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS: Bagaimana dengan istri yang tertular HIV dari suami? Apakah ada sanksi hukum bagi suami?

Soalnya, Shinta berharap program-program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ke depan dapat mempertimbangkan aspek hukum dan hak asasi manusia dengan tetap mengedepankan pemberdayaan, kemitraan, dan kesetaraan.

Yang terjadi sekarang adalah ibu-ibu hamil dianjurkan tes HIV, sementara suami mereka ada yang menolak tes HIV. Itu artinya suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Risiko penularan HIV pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) hanya terjadi jika narkoba dipakai dengan cara menyuntik dan alat suntik dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran.

Pemakaian kata 'penjaja seks' tidak tepat karena PSK tidak menjajakan, maaf, vaginanya. Yang mencari PSK untuk berzina justru laki-laki, bahkan ada yang beristri. Lagi pula pemakain terminologi itu merendahkan harkat dan martabat manusia (Baca juga: Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).

Provinsi Banten sendiri sudah punya Perda AIDS yang diikuti oleh Kab Tangerang. Tapi, perda-perda itu tidak jalan karena pasal-pasal penanggulangan tidak menukik ke akar masalah yaitu cara-cara yang realistis dalam mencegah penularan HIV (Baca juga: Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif).

Saat ini sudah ada 110 perda AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonsia, tapi semuanya hanya pada ranah moral yang tida bisa diaplikasikan sebagai bagian yang ril dari pencegahan HIV/AIDS di masyarakat. Celakanya, perda-perda itu hanya copy-paste sehingga nasib semua perda sama, termasuk kelak Perda AIDS Tangsel. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun