Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tidak Perlu Diversifikasi Pangan Wujudkan Kedaulatan Beras dengan Rice Estate

15 Januari 2018   16:15 Diperbarui: 30 Agustus 2023   21:06 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahan sawah di Indonesia (Sumber: jogja.tribunnews.com)

Selalu saja ada kendala dalam mempertahankan persediaan pangan, dalam hal ini beras, sehingga pemerintah terpakasa mengimpor beras untuk menghambat lonjakan harga. Sejak kemerdekaan tidak ada langkah konkret untuk mewujudkan ketersediaan beras. Bahkan, lahan persawahan di daerah-daerah dengan irigasi teknis, seperti di Pulau Jawa, beralih fungsi jadi permukiman, kawasan industri, dll.

Laju alih fungsi lahan di Indonesia sangat tinggi sehingga mengancam luas lahan sawah beririgasi teknis. Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44% berada di Pulau Jawa memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar, dari total persawahan di Indonesia mencapai 7,74 hektar. Tapi, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa,  terhadap data BPS pada 2003-2013 menunjukkan 508.000 hektar lahan pangan telah berpindah kepemilikan (BBC Indonesia, 27/8-2017),

Alih fungsi lahan (Sumber: BBC Indonesia)
Alih fungsi lahan (Sumber: BBC Indonesia)
Dalam prakteknya, Undang-Undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berbenturan dengan UU Otda yang memberikan kekuasaan penuh bagi daerah, kecuali moneter, hankam dan luar negeri, kepada daerah sehingga kepala-kepala daerah pun mengabaikan UU tsb.

Dengan laju konversi lahan sawah beririgasi teknis ke lahan non-sawah yang sangat tinggi, sayang sama sekali tidak ada upaya untuk mengganti lahan yang beralih fungsi secara konsisten. Pencetakan lahan sawah baru tidak otomatis menggantikan hasil produksi lahan sawah irigasi teknis yang beralih fungsi.

Pemerintahan Jokowi-JK membuat terobosan untuk mewujudukan kedaulatan beras yaitu dengan membangun bendungan di banyak daerah. Soalnya, banyak lawan sawah yang hanya mengharapkan air hujan yang belakangan ini justru tidak lagi sesuai musim yaitu kemarau dan hujan karena kerusakan ekosistem juga dialihfungsikan jadi tambang dan tanaman kelapa sawit yang justru penyedot air.

Patut dipertanyakan slogan swasembada beras yang pernah mendapat penghargaan dari Badan Pangan PBB (FAO). Ada kemungkinan swasembada hanya di atas kertas yaitu berupa perkalian hasil lahan percontohan (demplot) dengan luas sawah di Indonesia. Padahal, tidak semua sawah menghasilkan padi sebanyak produksi demplot.

"Untuk menstabilkan harga beras yang melonjak di atas harga eceran tertinggi (HET), pemerintah sepakat mengimpor beras hingga musim panen tiba." (Harian "KOMPAS", 11/1-2018). Jika ini alasan yang dipakai, maka impor akan terus-menerus terulang selama produksi padi tidak mendukung kebutuhan pangan nasional. Indonesia mengimpor 500.000 ton beras.

"Jangankan untuk memenuhi kebutuhan ratusan juta rakyat, sekaligus mengekspor beras pun bisa," kata Prof. Dr. Rindit Pambayun, Guru Besar Ilmu Pangan Unsri, Palembang. "Untuk memenuhi kebutuhuan dunia pun bisa," ujar Prof Rindit, yang juga Ketua Umum Perhimpuan Ahli Teknologi Pangan (Patpi), kepada penulis pada acara malam inagurasi "Danone Blogger Academy" di Hotel Santika Premiere, Jakarta, 16/12-2017.

Lahan sawah di Indonesia (Sumber: jogja.tribunnews.com)
Lahan sawah di Indonesia (Sumber: jogja.tribunnews.com)
Maka, Prof Rindit tidak sepakat dengan gagasan diversikasi pangan karena lahan untuk sawah sangat luas. Mengapa harus makan ubi dan jagung sementara potensi sebagai negara penghasil padi terbesar bisa dilakukan. Yang jadi persolan besar, menurut Prof Rindit, adalah pengelolaan yang tidak efektif. "Tidak ada cara lain selain memakai mesin dalam produksi padi," ujar Prof Rindit.

Dari pengalamannya berkunjung ke banyak negara sektor pertanian hanya bisa diandalkan jika dijalankan dengan mesin. Untuk itulah Prof Rindit berharap ada langkah-langkah konkret dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melalukan advokasi kepada pemilih lahan sawah untuk menyerahkan pengelolaan kepada pemerintah.

Pemilik lahan tidak perlu takut soal batas sawahnya karena dengan teknologi luas dan batas sawah seseorang yang masuk dalam 'paguyuban' yang secara faktual berupa rice estate dapat dicek melalui GPS (Global Positioning System), yaitu sistem navigasi berbasis satelit. "Batas lahan sawah yang masuk dalam area rice estate secara faktual bisa dilihat melalui GPS dengan sangat rinci," kata Prof Rindit.

Dengan mekanisasi pengolahan sawah jauh lebih efektif dan efisien mulai dari pengolahan tanah, menaman benih, panen sampai pengupasan. Selanjutnya distribusi beras juga harus ditangani agar program nasional 'tidak mencuci beras'bisa dijalankan. Untuk itulah sejak pengolahan lahan sempai ke pedagang eceran harus ada standardisasi agar kualitas dan kebersihan besar terjamin (Baca juga: Gerakan Nasional Tidak Mencuci Beras).

Ilustrasi: Lahan sawah di lembah dan lereng di Viet Nam (Sumber: 2.bp.blogspot.com)
Ilustrasi: Lahan sawah di lembah dan lereng di Viet Nam (Sumber: 2.bp.blogspot.com)
Prof Rindit kagum dengan Viet Nam yang luas lahan sawahnya tidak seluas sawah di Nusantara tapi bisa memproduksi besar yang berlimpah. Selain ekstensifikasi dijalankan juga intensifikasi. "Lembah dan lereng bebatuan pun mereka sulap jadi lahan sawah," kata Prof Rindit sambil geleng-geleng kepala.

Di sepanjang delta Sungai Mekong, menurut Prof Rindit, lahan jadi sumber utama penghasil padi. Di Indonesia banyak lahan sawah yang datar sehingga sangat memungkinkan dikerjakan secara mekanis setelah masuk dalam ranah rice estate. Bisa saja dengan sistem bagi hasil atau sewa lahan. Semua tergantung dari hasil rembug antara pemeirntah dan petani.

Bagi Prof Rindit tidak masanya lagi untuk saling menyalahkan karena potensi produksi padi terbuka lebar melalui rice estate. Maka, langkah-langkah konkret melalui rembug desa jadi langkah awal tentu saja setelah ada grand design yang terbuka secara luas.

Tanpa langkah-langkah konkret untuk menjamin produksi padi kita akan terus jadi negara pengimpor beras yang bisa saja sampai pada kondisi 'tikus mati di lumbung padi'. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun