Logo atau lambang larangan pelecehan seksual di angkutan umum, seperti di bus dan KRL, adalah tangan laki-laki yang menyingkap rok perempuan. Ini menggiring opini bahwa yang melakukan pelecehan seksual di angkutan umum hanya laki-laki.
Memang, selama ini yang terjadi adalah laki-laki yang melakukan gerakan atau kegiatan yang memakai tubuh dan bagian-bagian tubuh, seperti tangan, kaki, dan penis ke badan perempuan. Dalam bahasa seksualitas ini merupakan salah satu bentuk parafilia yaitu deviasi orientasi seksual berupa kegiatan menyalurkan dorongan seksual (libido) dengan cara yang lain (Baca juga: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual "di atau dari Sisi Lain").
Di awal tahun 1990-an seorang perempuan teman sekantor penulis merasakan ada benda keras yang didorong-dorong ke, maaf, pantatnya di gerbong KRL trayek Bogor-Jakarta Kota. Kedua tangan perempuan tadi memegang pegangan di atas kepala. Karena penasaran dia pun menurunkan salah satu tangannya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada pantatnya. Yang dipegangnya adalah benda keras yang basah dan itu adalah penis laki-laki. Selama beberapa tahun teman tadi trauma naik KRL.
Yang dilakukan laki-laki itu merupakan salah satu bentuk parafilia yaitu frotteurisme yaitu menggesek-gesekkan badan atau bagian badan terutama alat reproduksi ke bagian tubuh lawan jenisnya. Ada juga dengan memeluk lawan jenis secara paksa.
Menanggapi kasus-kasus pelecehan seksual di angkutan umum bus Transjakarta dan KRL menyediakan ruang dan gerbong khusus bagi perempuan. Memang, perempuan kemudian aman dari gerayangan laki-laki. Tapi, apakah di ruang dan gerbong khusus perempuan tidak terjadi pelecehan seksual yang dilakukan perempuan?
Terkait dengan orientasi seksual dikenal lesbian sebagai homoseksual yaitu perempuan yang tertarik secara seksual terhadap perempuan. Memang, sejauh ini belum ada laporan pelecehan seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh perempuan.
Jika dilihat dari aspek hukum sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual seperti frotteurisme tidak banyak membantu. Seperti dikatakan oleh Christina Tedja, M.Psi, psikolog yang praktik di Ciputra Medical Center, Lotte Shopping Avenue, Jakarta: "Kalau dipandang dari segi hukum pelaku memang pantas mendapatkan hukuman, namun dari sisi psikologis hukuman sesungguhnya tidak membawa banyak pengaruh terhadap perubahan sikap pelaku." (detiknews, 12/12-2017).
Kalau pun kemudian ditangani melalui terapi juga tidaklah semudah yang dibayangkan karena orientasi seksual ada di dalam pikiran (baca juga: Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran). Ditangani satu di luar sana banyak yang tidak tertangkap karena korban memilih diam agar tidak terekspose di media massa dan media sosial ketika diperiksa polisi dan di sidang pengadilan. Maka, perlu juga dipikirkan pemeriksaan dan persidangan korban-korban kejahatan seksual agar terlindungi dari media-media yang mementingkan sensasi dengan mengabaikan hak privasi.
Anjuran Komnas Perempuan ini, misalnya: Agar Tak Terjadi Pelecehan di KRL, Komnas Perempuan: Tambah Gerbong (detiknews, 13/12-2017). Agar perempuan tak terus-menerus menjadi korban, maka perlu penambahan gerbong khusus perempuan. Ini sama saja dengan menjadikan perempuan sebagai korban (lagi).
Tapi, yang tidak masuk akal tidak sedikit orang, organisasi bahkan menteri yang justru selalu menyalahkan perempuan yang sudah jadi korban. Lihat saja korban korban perkosaan yang menghadapi masalah besar untuk mencegah agar tidak hamil. Banyak orang mengatakan itu sudah nasib, maka terima saja (hamil dan melahirkan). Namun, itu terjadi jika korban bukan anggota keluarga. Kalau terjadi pada anggota keluarga lain lagi ceritanya karena keluarga akan mencari seribu satu cara agar tidak terjadi kehamilan.