Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran

25 Desember 2017   03:45 Diperbarui: 3 Maret 2024   14:17 1964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini banyak kalangan yang terus-menerus menyuarakan agar LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) masuk ranah pidana. Ada persoalan yang sangat mendasar yaitu bahwa sesungguhnya orientasi seksual, dalam hal ini LGBT (kecuali transgender karena bukan orientasi seksual tapi identitas gender), ada di dalam pikiran.

Lalu, bagaimana memidanakan (alam) pikiran seseorang yang disebut-sebut sebagai (seorang) LGBT?

Di ranah realitas sosial wujud LGBT hanya tampak jelas pada kalangan transgender yaitu waria (laki-laki yang berpenampilan perempuan, sedangkan perempuan yang berpenampilan laki-laki tidak pernah jadi masalah). Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dilihat dengan mata kepala karena tidak kasat mata. Artinya, lesbian, gay dan biseksual tidak mempunyai ciri khas yang berwujud pada penampilan diri yang bisa dilihat dengan dengan mata (kasat mata).

Kejahatan Seksual

Kalau LGBT masuk ranah pidana, maka alangkah malangnya nasib saudara-saudara kita yang terlahir dengan kecenderungan waria. Karena mereka tidak bisa menyembunyikan identitas gender mereka pun akan diciduk polisi karena masuk kategori pidana umum.

Jika dikaitkan dengan pidana yang jadi persoalan bukan orientasi seksual, tapi perbuatan seseorang terkait dengan kejahatan seksual dan kekerasan seksual tanpa membedakan orientasi seksual. Seorang heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) pun akan menghadapi dakwaan pidana jika melakukan kekerasan atau kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual, zina dan perkosaan.

Setengah orang yang memakai 'baju moral' melihat gejala LGBT sebagai kejahatan dan langsung membawanya ke ranah pidana. Celakanya, yang kasat mata hanya waria (transgender), sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak kasat mata.

Apakah ada hak seseorang, bahkan negara dengan dalih pidana, untuk menangkap seorang waria yang tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum terkait dengan seks dalam konteks LGBT?

Tentu saja tidak karena orientasi seksual ada di alam pikiran. Sedangkan waria sebagai perwujudan orientasi seksual bukan perbuatan yang melawan hukum positif. Kalau pun ada penolakan dari sebagian orang di masyarakat itu bukan alasan untuk memidankan waria selama tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Upaya-upaya untuk memasukkan LGBT sebagai perbuatan pidana terus bergulir bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa sebenarnya yang ada di benak orang-orang yang hendak memidanakan LGBT sebagai orientasi seksual?

Agaknya, ada yang salah kaprah dengan mengaitkan LGBT, dalam hal ini gay, dengan kejahatan seksual berupa sodomi yang melibatkan anak-anak. Sodomi sendiri adalah istilah dalam dunia hukum positif terkait dengan tindakan seksual yang tidak pada tempatnya, seperti seks oral dan seks anal, serta tidakan yang memakai alat kelamin ke organ-organ tubuh manusia yang bukan alat kelamin yang dilakukan oleh heteroseksual dan homoseksual, juga termasuk tindakan seks terhadap binatang.

Maka, sodomi tidak otomatis terkait dengan LGBT, dalam hal ini gay, biar pun gay melakukan hubungan seksual dengan cara seks anal.

Yang lain menyebutkan sodomi terhadap anak-anak dilakukan oleh pedofilia, yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak umur 7-12 tahun, sedangkan perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan remaja disebut cougar (Baca juga: Cougar, Fantasi Romantis Seks Remaja Bagi Perempuan Dewasa).

Parafilia

Paedofilia tidak melakukan sodomi dan pelacuran anak. Mereka ini menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak melalui cara-cara yang diterima secara sosial, seperti menjadikan korban sebagai anak angka, keponakan angkat, anak asuh bahkan sebagai pasangan hidup.

Selanjutnya tidak sedikit pula orang, termasuk dokter dan aktivis AIDS, yang mengait-ngaitkan penyakit-penyakit kelamin (istilah yang tepat adalah infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang ditularakan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.) dan HIV/AIDS dengan LGBT.

Tentu saja hal itu salah kaprah karen risiko tertular IMS dan HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus bukan karena orientasi seksual dan sifat hubungan seksual (di alam atau di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual). 

Baca juga: Risiko Penularan HIV/AIDS Bukan karena Sifat Hubungan Seksual

Yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV/AIDS bukan LGBT sebagai orientasi seksual, tapi tindakan seksual orang-orang yang berorientasi seksual sebagai LGBT yang berisiko (kecuali lesbian karena belum ada laporan kasus penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian).

Sedangkan dari aspek penyebaran HIV/AIDS yang lebih serius adalah biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan dengan yang sejenis disebut LSL yaitu Lelaki Seks dengan Lelaki) karena biseksual mempunyai pasangan tetap yaitu istri.

Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan dan Biseksual Jauh Lebih Serius daripada Zina dan Homoseks

Bagi yang tetap memakai 'kacamata kuda' dalam memandang LGBT yang perlu digiring ke ranah pidana adalah tindakan seksual sodomi dan pedofilia terlepas dari orientasi seksual. Bahkan, orientasi seksual sebagai parafilia (menyalurkan dorongan seksual dengan cara lain) jauh lebih merusak daripada sekedar LGBT.

Baca juga: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual 'di atau dari Sisi Lain'

Deviasi seksual terkait dengan parafilia ada yang disebut sebagai infantofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak berumur 0-7 tahun. Catatan penulis sudah lebih 50 kasus infantofilia yang ditangani polisi.

Baca juga: Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak Sebagai Pelampiasan Seks

Baca juga: Perppu Kejahatan Seksual: Infantofilia dan Korban Dewasa, Harus Bedakan Pelaku Sodomi dengan Paedofilia dan Cougar

Selain itu ada pedofilia, eksebisionis (memamerkan bagian-bagian alat vital terkait seks), nekrofilia (seks dengan mayat), bestialis (seks dengan binatang, ini ada kasus di Tasikmalaya, Jabar, pemuda yang menyalurkan seks dengan sapi dan ayam), fetihisme (memakai benda-benda lawan jenis agar terangsang secara seksual), dll.

Kasus-kasus kejahatan seksual mulai dari pelecehan seksual, perkosaan, sodomi dan parafilia banyak yang tidak dilaporkan (dark number) karena berbagai alasan, seperti malu, diancam, dll. Maka, daripada sekedar medorong-dorong lembaga penegak hukum memidankan orientasi seksual yang mustahil dilakukan, maka akan jauh lebih arif kalau kita mendorong hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual karena derita korban seumur hidup. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun