Jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS diketahui melalui tes HIV pada saat hamil. Sedangkan kasus HIV/AIDS pada PSK sebagian besar didapat melalui survailans tes HIV yang dilakukan secara sporadis di tempat-tempat pelacuran terbuka yang melibatkan PSK langsung. Tidak semua tempat transaksi seks dijangkau untuk menjalankan survailans tes HIV (survaians tes HIV hanya untuk mengetahui perbandingan jumlah PSK yang mengidap HIV/AIDS dan yang tidak mengidap HIV/AIDS saat tertentu).
Survailans tes HIV terhadap PSK di satu lokasi pada waktu yang berbeda akan dilakukan terhadap PSK yang berbeda dengan survailans sebelumnya karena secara sosiologis PSK dan germo akan merotasi tempat praktek. Lalu, ada pula masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan. Ini bisa saja terjadi pada PSK ketika survailans tes HIV, sedangkan pada ibu hamil tes HIV sudah melewati masa jendela jika tes pada kehamilan di atas tiga bulan.
Maka, biar pun ratusan laki-laki yang ngeseks itu mengidap HIV/AIDS yang tertular hanya 1 PSK. Sebaliknya, 1 PSK yang mengidap HIV/AIDS melayani hubungan seksual tanpa kondom dengan ratusan laki-laki yang sebagian di antaranya beristri. Nah, kalau separuh saja dari laki-laki itu yang tertular HIV tentulah jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV akan jauh lebih banyak dari PSK.
Dalam berita disebutkan: Dikutip dari Kompas.com, Selasa (10/11/2017), Mareno selaku Koordinator D-KAP Riau, organisasi pemerhati HIV/AIDS Riau berkata bahwa PSK justru lebih bersiap untuk mencegah HIV dengan memakai kondom.
Sudut Pandang Laki-laki
Fakta menunjukkan PSK tidak pernah memakai kondom karena di Indonesia tidak ada penjualan kondom perempuan. Pernyataan organisas pemerhati HIV/AIDS Riau itu ngawur. Yang dilakukan di Indonesia adalah PSK meminta agar laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual. Program ini tidak efektif karena banyak faktor, misalnya, larangan sosialisasi kondom, tidak ada sanksi bagi laki-laki yang menolak memakai kondom, dll.
Biar pun di lokalisasi pelacuran diberlakukan 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang akan ngeseks dengan PSK tetap saja tidak berguna karena ada saja PSK yang melayani pacar atau suaminya tanpa kondom. Padahal, pacar dan suami itu juga ngeseks di tempat lain. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian di satu lokalisasi pelacuran yang menerapkan program 'wajib kondom 100 persen', tapi tetap saja ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, jengger ayam, klamidia, herpes genitalis, dll.), bahkan HIV/AIDS.
Berita ini pun menghakimi ibu-ibu rumah tangga melalui pernyataan: Masalah ini diperkeruh dengan keengganan ibu rumah tangga untuk mencegah penyebaran dan penularan HIV.
Pernyataan itu benar-benar tidak masuk akal sehat karena ibu-ibu rumah tangga adalan objek yang jadi korban. Â Bagaimana mungkin seorang istri bertanya kepada sumai tentang perilaku seks suami di luar rumah atau meminta suami memakai kondom ketika sanggama. Bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena banyak laki-laki yang memakai pola patriarkat dengan menempatkan istri sebagai sub-ordinat laki-laki (baca: suami).
Ada lagi pernyataan: "Adapun ibu rumah tangga lebih banyak ditularkan oleh suaminya yang berperilaku menyimpang di luar rumah," .... Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini menyimpang, tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta. Kalau sepasang laki-laki dan perempuan tidak mengidap HIV/AIDS apa pun bentuk, sifat, gaya, dll. hubungan seksual yang mereka lakukan tidak ada pernah terjadi penyularan HIV/AIDS.