"Coba Pak Hakim bayangkan. Sedang berlabuh kok selalu dipaksa berlayar." Inilah alasan seorang perempuan yang menggugat cerai di salah satu Pengadilan Agama di Sumatera Utara awal tahun 1980-an. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Bingung, kan?
Itu salah satu bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dalam ikatan perkawinan yang sah. Rupanya, suami perempuan itu selalu memaksa hubungan seksual ketika si istri sedang menstruasi.
Sepele? Ya boleh-boleh saja ada yang beranggapan seperti itu. Tapi, bagi sebagian perempuan hubungan seksual ketika sedang menstruasi tidak nyaman walaupun tidak ada larangan dari aspek norma, moral, agama dan hukum secara eksplisit. Dari aspek kesehatan ada risiko kematian karena udara bisa masuk melalui pembuluh darah yang terbuka ketika menstruasi.
Memaksa istri melayani hubungan seksual ketika istri sedang menstruasi merupakan kejahatan seksual dalam perkawinan, tapi hal ini luput dari perhatian karena ada saja anggapan bahwa perempuan, dalam hal ini istri, tidak bisa menolak permintaan suami karena bagi sebagian laki-laki perempuan ditempakan sebagai sub-ordinat. Posisis perempan (istri) jadi kian terpuruk pada masyarakat patriarkhat (Baca juga: Patriarkat Menghadang Peran Perempuan).
Sekelompok guru besar yang menyebut diri sebagai Aliansi Cinta Keluarga (AILA) melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar zina, kumpul kebo dan hubungan seksual sesama jenis masuk dalam ranah pidana di KUHP. MK menolak permohonan ini.
Kelompok itu mengabaikan perilaku sebagian suami yang melakukan kekerasan seksual terhadap istri dalam perkawinan dan lebih mementingkan persoalan pribadi orang per orang. Perempuan yang dipaksa melakukan hubungan seksua pada saat menstruasi merupakan salah satu contoh konkret kekerasan seksual suami terhadap istri.
Kekerasan seksual lain yang sering terjadi adalah suami yang memkasa istri melakukan seks oral dan seks anal. Ini pun luput dari perhatian karena terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah.
Masalah besar yang dihadapi para istri sekarang adalah suami yang menularkan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, virus kanker serviks, virus Hepatitis B, dll.) dan HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus.
Survei Kemenkes tahun 2012 menunjukkan 4,9 juta perempuan di Indonesia mempunyai suami yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Dilaporkan 6,7 juta laki-laki jadi pelanggan PSK (Baca Juga: Hari AIDS Sedunia: Kelahiran Jutaan Bayi di Indonesia Dihantui AIDS dan "Stunting"). Maka tidak mengherankan kalau kemudian sampai September 2014 dilaporkan ada 6.539 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (nasional.republika.co.id, 15/1-2015).
Yang tidak masuk akal adalah selalu saja perempuan yang jadi objek penyuluhan IMS dan HIV/AIDS. Di beberapa daerah digerakkan ibu-ibu rumah tangga untuk menanggulangi HIV/AIDS.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah seorang istri berani bertanya kepada suaminya tentang perilaku seksual suami di luar rumah?
Tentu saja tidak akan ada yang berani. Maka, penyuluhan IMS dan HIV/AIDS yang menyasar ibu-ibu rumah tangga jelas salah sasaran.
Dalam epidemi HIV/AIDS kasus-kasus pada kalangan laki-laki gay merupakan 'terminal terakhir' karena mereka berada dalam komunitas yang tidak bersinggungan langsung dengan masyarakat dalam hal hubungan seksual.
Berbeda dengan kasus IMS dan HIV/AIDS pada waria yang justru jadi masalah besar karena 'pelanggan' (laki-laki yang menempong) waria justru laki-laki beristri dengan berbagai pembenaran. Misalnya, hubungan seksual dengan waria tidak mengingkari cinta ke istri karena tidak melalukan seks vaginal, dll. (Baca juga: Lebih Tuntas dengan Waria).
Yang juga jadi masalah besar bagi istri adalah jika suami seorang biseksual. Dengan kondisi ini istri berada pada risiko tinggi tertular IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus karena suaminya juga melakukan hubungan seksual sejenis yang disebut Lelaki Suka Seks Lelaki (LSL). Hubungan seks anal tanpa kondom seorang laki-laki biseksual dengan pasangannya yang juga laki-laki berisiko tinggi terjadi penularan IMS atau HIV/AIDS jika salah satu pasangan itu mengidap IMS atau HIV/AIDS.
Karena tidak ada sanksi moral dan pidana terhadap suami yang menularkan IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada istrinya, maka lagi-lagi istri jadi korban sebagai pelengkap-penderita.
Ternyata banyak di antara kita yang lebih mementingkan urusan privasi orang lain daripada menyelamatkan perempuan-perempuan yang berada pada posisi yang powerless serta voiceless menghadapi kekerasan seksual dalam perkawinan.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H