Ketika di negeri ini kasus-kasus pelecehan seksual, bahkan kekerasan seksual disertai pembunuhan, selalu menyalahkan perempuan dan membela laki-laki pelalu kejahatan dengan mengatakan pelaku di bawah pengaruh miras dan pornografi, Prancis berpikir lebih arif dalam melindungi perempuan (Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ....")
Tidak tanggung-tanggung sekelompok laki-laki remaja dan dewasa yang berjumlah belasan yang memperkosa dan membunuh gadis cilik berumur 14 tahun tetap saja dibela oleh dua menteri. Apalagi kalau hanya dicolek dan disiul pastilah akan dianggap hal biasa dan kesalahan ditimpakan pada perempuan.
Tanya Nomor Telepon
Lihat saja polisi, wartawan dan menteri perempuan yang selalu memberikan panggung pembenaran terhadap pelaku pelecehan dan kejahatan seksual (Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual). Bahkan, tidak jarang polisi dan wartawan jadi 'the second rape' dalam berita kejahatan seksual (Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan).
Maka, berita yang dilansir "BBC Indonesia" (17/10-2017) "Bersiul Menggoda Akan Masuk dalam RUU Antikekerasan Seksual di Prancis" menohok karena di negeri ini menepuk bahu dan pantat pun dianggap biasa karena: kenapa pakaiannya begitu, mengapa lewat di depan laki-laki, mengapa ... kenapa .... dst ....
Yang paling mengangetkan bagi saya adalah ternyata di Prancis ada Menteri Kesetaraan Gender, sementara di negeri ini banyak orang dan daerah yang menolak (kesetartaan) gender. Anggota DPR pernah 'diusir' dalam satu acara di Mataram, NTB, karena membicarakan masalah gender. Yang paling memggelikan ada media massa di Indonesia yang menolak mengirim wartawannya pada pelatihan yang berperspektif gender.
Dalam RUU Antikekerasan Seksual tsb. dikabarkan akan ada denda langsung di tempat untuk siulan yang menggoda atau perilaku yang memperlihatkan nafsu di tempat-tempat umum. Ini benar-benar melindungi perempuan dari perilaku laki-laki 'predator' yang tidak jantan. Yang tidak masuk akal biasanya laki-laki hanya berani menggoda perempuan kalau sedang tidak sendirian.
Ternyata di Portugis dan Brasil pelecehan seksual di jalanan, termasuk siulan yang menggoda, sudah termasuk dalam pelanggaran hukum. Bandingkan dengan hukum di negeri ini yang selalu menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, beradab dan agamis tapi pelecehan dan kejahatan seksual jadi hal yang biasa, bahkan di mata menteri perempuan.
Kejahatan seksual lain yang masuk dalam RUU itu adalah perilaku seorang laki-laki yang mengikuti seorang perempuan sampai beberapa blok jalan atau laki-laki yang bertanya 'nomor telepon sampai 17 kali'.
Perempuan di Bawah Umur
Marlne Schiappa, yang menyusun materi RUU itu, mengatakan: "Kita tahu persis sampai pada titik apa kita merasa terintimidasi, tidak aman, atau diganggu di jalanan."
Celakanya, dalam masyarakat yang paternalistik dan patriarkhat semua ukuran ditentukan berdasarkan pendapat dan pandangan laki-laki. Keseteraan gender dan keadilan terhadap perempuan, misalnya, yang menentukan ukuran dan takaran laki-laki bukan perempuan. Ini berarti laki-laki sebagai subjek dan perempuan jadi objek pada posisis sub-ordinat laki-laki.
Sering juga terjadi polisi menolak pengaduan korban pelecehan dan kekerasan seksual jika sudah terjadi dalam waktu yang lama. Tapi, RUU Prancis itu akan memberikan waktu lebih lama bagi orang-orang yang menderita serangan seksual pada masa kecil untuk melaporkan kasusnya. Ini tepat karena perempuan korban kekerasan akan mengalami penderitaan dan trauma bahkan di instasi.
Bahkan, dulu ada calon hakim agung yang mengatakan bahwa perempuan yang diperkosa juga menikmati hubungan seksual dengan kekerasan itu. Belum lama ini seorang hakim mengatakan perlu tes keperawanan bagi calon istri sehingga hakim ini membenarkan laki-laki yang bukan duda boleh tidak perjaka (Bagaimana Jika Calon Mempelai Prianya yang Sudah Tidak Perjaka, Pak Hakim?).
Dalam RUU juga ada aturan yang memperketat hubungan seksual dengan anak-anak. Sementara di negeri ini sekelompok mahaguru sibuk menggugat homoseksual ke Mahkamah Konstitusi. Hubungan seksual dengan perempuan di bawah umur akan dibenarkan melalui institusi pernikahan berdasarkan agama. Namun, Mahkamah Agung India memutuskan, berhubungan seks dengan perempuan di bawah usia 18 tahun -- meskipun istri -- sebagai tindakan pemerkosaan (VOA Indonesia, 11/10-2017).
Lalu, kapan ada UU yang melindungi perempuan dari perbuatan jahil dan jahat laki-laki? Tentu saja menunggu paradigma berpikir laki-laki dan perempuan di negeri ini memakai perspektif gender bukan pendekatan patriarkhat. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H