Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pos Indonesia, Kok Keok di "Core Business"?

12 Oktober 2017   20:52 Diperbarui: 13 Oktober 2017   10:32 5089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari 24 daftar BUMN yang rugi tahun 2017 salah satu di antaranya adalah PT Pos Indonesia (Persero) (detiknews, 29/8-2017). Dilaporkan pula pada priode triwulan pertama tahun 2017 Pos rugi sebesar Rp 560. Angka ini turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai belasan miliar rupiah (detiknews, 6/9-2017). Namun, perlu juga diingat bahwa Pos juga menerima subsidi.

Secara faktual yang diketahui terkait dengan pos tentulah surat-menyurat dengan prangko, telegram, wesel pos, dan paket. Dalam perkembangnya loket-loket di kantor pun kini melayani segala macam pembayaran, disebut Pos Pay, mulai dari telepon, pajak, PBB, listrik, air, angsuran kredit, dll.

Media Habit

Maka, adalah pemandangan umum di kantor pos kalau loket prangko sepi sedangkan loket pembayaran ramai. Loket prangko akan ramai kalau lagi musim pembukaan lowongan pekerjaan, tapi sekarang pun lamaran kerja mulai memakai Internet.

Salah satu alasan yang diumbar Pos penyebab kerugian adalah pembelian prangko yang pada akhirnya pengiriman surat pos yang melorot. Disebutkan pengiriman surat pos yang kecil karena kemajuan teknologi telekomunikasi berbasis Internet, seperti e-mail, ponsel dengan SMS, Facebook, Instagram, WhatssApp, Twitter, dll.

Persoalannya adalah mengapa di banyak negara pengiriman surat pos tidak seperti di Indonesia. Serbuan Internet tidak semerta mematikan minat berkirim surat. Padahal, densitas telepon rumah dan telepon genggam di negara-negara itu jauh lebih besar persentasenya daripada Indonesia.

Tentu saja ada faktor yang membuat pengiriman surat pos di Indonesia sangat rendah, antara lain keengganan menulis karena budaya baca yang sangat rendah dan kebiasaan menggunakan bahasa lisan. Masyarakat maju memulai hidup dengan budaya membaca (reading society), budaya menulis (writing society) baru ke aspek lain yaitu budaya film (filming society). Celakanya, di Indonesia budaya baca belum jadi bagian dari kehidupan sehari-hari sudah muncul televisi sehingga dengan telenovela dan sinetron serta acara-cara yang sama sekali tidak bisa mendorong budaya baca. (Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat*).

Disebutkan oleh Dirut Pos, Gilarsi Wahyu Setijono, salah satu penyebab kerugian Pos karena jasa pengiriman barang atau logistik yang menjamur.

Pertanyaan yang sangat mendasar kepada Gilarsi adalah: Mengapa kemudian warga lebih memilih jasa kurir daripada Pos?

Prangko dan Filateli

Dari sisi jaringan layanan di Nusantara tentulah Pos jauh lebih unggul daripada jasa kurir manapun di dunia ini karena sampai ke desa-desa nun di pelosok sana. Ada jasa kurir yang tidak menerima pengiriman barang atau paket ke kota-kota kecamatan. Ini jelas merupakan pangsa pasar yang besar bagi Pos, tapi mengapa warga tetap mencari jasa kurir?

Pengalama buruk terkait dengan jasa pengiriman bisa jadi penyebab utama sehingga banyak orang memalingkan muka dari Pos. Pengalaman penulis di awal tahun 2000-an yang mengirim surat dengan Pos Kilat Khusus pada hari Jumat ternyata baru diterima di alamat tujuan setelah hari Senin. Ketika ditanya ke Pos alasan mereka adalah pada hari Sabtu dan Minggu Pos 'tidak jalan'.

Nah, akal sehat tentu mengatakan berarti kalau pos dikirim dengan pos udara, maka kapal terbang yang bawa surat itu berhenti di awan sana menungg hari Senin. Kala pos laut, maka kapal laut pun lego jangkar. Awal kapal memancing ikan. Itu kan jawaban yang tidak masuk akal karena mengapa Pos menerima kiriman pada hari Jumat kalau Sabtu dan Minggu 'tidak jalan'?

Salah satu bisnis murni Pos adalah pengiriman surat pos dengan prangko. Disebutkan bahwa penjualan prangko terus merosot. "Bisnis prangko Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini kurang. Karena dari 100 persen prangko yang dicetak, hanya 14 persen prangko terjual atau terserap," ujar Direktur Ritel dan Properti PT Pos Indonesia Setyo Riyanto di Kantor Filateli Jakarta (merdeka.com, 24/2-2014).

Salah satu yang membuat penjualan prangko melorot adalah jumlah pengiriman surat pos yang juga merosot tajam. Selain itu Pos tidak membedakan prangko nominal untuk kartu pos, warkat pos dan surat dengan prangko untuk filateli. Ada baiknya prangko dengan nominal pengiriman surat pos dicetak banyak sesuai dengan predikti kebutuhan, sedangkan prangko untuk filateli dicetak terbatas agar harga prangko filateli terus naik.

Suasana di loket Kantor Pos Singapura (jurongpoint.com.sg)
Suasana di loket Kantor Pos Singapura (jurongpoint.com.sg)
Harga prangko filateli Indonesia hanya jalan di tempat. Cuma beberapa prangko saja yang harganya mahal. Tema-tema dan gambar prangko filateli pun sering tidak mendunia sehingga tidak menarik bagi filatelis internasional. Penulis pernah antri penerbitan prangko perdana di Singapura yang sangat ramai mulai dari anak-anak, tentara, sampai manula.

Faktor lain yang membuat penjualan prangko rendah karena pembayaran jasa pos selain surat tidak memakai prangko, seperti Pos Kilat Khusus, dll. yang memakai uang. Maka, untuk mendorong penjualan prangko semua pembayaran jasa pos harus pakai prangko bukan uang.

Cap Pos

Minat warga dan turis memakai jasa pos di Indonesia, khususnya surat, adalah karena fasilitas pos yang tidak merakyat. Benda-benda pos, seperti prangko, hanya ada di kantor pos sehingga menyulitkan bagi konsumen karena harus ke kantor pos. Bayangkan, seseorang di Stasiun KA Gambir, Jakarta Pusat, ingin mengirim surat atau kartu pos. Maka, dia harus pergi dulu ke Kantor Pos di Pasar Baru. Ini kan konyol karena buang waktu dan uang.

"Silakan beli ke kantor Pos, Pak," kata karyawan sebuah pos mart yang memakai gedung Pos di Jakarta Pusat ketika ditanya benda-benda pos. Duh, ini lebih konyol lagi rupanya karena dari nama toko itu mengindikasikan ada benda-benda pos.

Mengiriman surat, warkat pos dan kartu pos dari satu tempat bisa sebagai sinyal yang menunjukkan keberadaan seseorang pada suatu saat. Seperti tadi seseorang yang hendak bepergian dengan kereta api dari Stasiun Gambir tentu akan sangat berharga baginya mengirimkan kartu pos, apalagi bergambar KA atau stasiun, ke keluarga, teman, dll.

Nilai surat, warkat pos dan kartu pos akan tinggi kalau cap posnya juga menunjukkan tempat yaitu Stasiun Gambir. Bagi filatelis cap pos juga jadi koleksi yang berharga sehingga akan dikejar-kejar juga oleh filatelis.

Begitu pula dengan cap pos dengan nama terminal bus, pelabuhan laut dan bandara akan bernilai tinggi dari aspek filatelis. Tentu saja Pos harus menyediakan warkat pos dan kartu pos yang sudah memamai prangko. Bisa saja dibuat per regional agar tidak banyak variasi. Misalnya, Indonesia, ASEAN, Asia, dst. Di tempat-tempat itu juga harus disediakan Bis Surat yang memudahkan konsumen mengirim surat.

Kode pos nasional pun kurang memasyarakat karena mengabaikan nama daerah yang khas karena kode pos berpatokan pada nama ibu kota kabupaten [Kode Pos (di) Indonesia Tidak Merakyat!].

Sudah saatnya Pos meningkatkan minat masyarakat untuk kembali berkirim surat. Dulu dikenal korespodensi, al. pertemanan melalui surat-menyurat yang memunculkan klub-klub persahabatan melalui berkirim surat, seperti 'Sahabat Pena'. Sampai ada majalah "Merpati Pos" terkait dengan korespondesi.

Mendorong masyarakat kembali menggemari korespondensi selain menghidupkan Pos juga besar artinya dalam meningkatkan kemampuan menulis sehingga mendorong minat baca. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun