Selama ini negara, dalam hal ini pemerintah, selalu mengabaikan hak-hak kalangan difabel untuk bisa menjadi pengawai negeri sipil (PNS) karena salah satu persyaratan mutlak adalah: tidak cacat fisik.
Alangkah murkanya YMK karena penolakan terhadap difabel sama saja dengan mengabaikan 'pemberian' kepada saudara kita yang lahir dengan berkekurangan bagian fisik. Adalah kecongkakan hanya karena diberi fungsi organ tubuh yang sempurna lalu mengabaikan hak saudara kita yang berkekurangan fungsi organ tubuhnya.
Apakah yang kakinya lumpuh tidak bisa menjadi operator telepon atau penerima tamu?
Memang, jadi aneh di negeri ini. Semua orang harus bisa bertempur yang berarti tidak cacat fisik. Di kampus ada resimen mahasiswa (Menwa), yang terkadang, maaf, over acting dengan menempatkan diri sebagai pelindung negeri. Saya pernah jadi korban ketika dilaporkan ke aparat keamaman dengan tuduhan rapat gelap, padahal sebagai mahasiswa sospol tentulah diskusi menyangkut politik. Mosok mahasiswa sospol diskusi inrtensifikasi ternak sapi.
Tepat sekali yang dikatakan oleh alm. Sartono Mukadis, psikolog UI, bahwa kalangan difabel bukan untuk dikasihani tapi memberikan peluang dan kesempatan sesuai dengan kemampuan mereka. "Difabel tidak otomatis harus jadi pengemis," kata Sartono di tahun 1980-an dalam wawancara untuk bahan liputan.
Pengalaman Sartono ketika naik kapal terbang ke Batam dari Jakarta menunjukkan betapa kesan buruk diberikan kepada difabel. Almarhum memakai kursi roda karena salah satu kakinya diamputasi. "Siapa yang menemani, Pak," tanya pramugari di pintu masuk kapal terbang. Lalu, apa kerja petugas dan pramugari?
Nah, ketika menunggu penerbangan ke Jakarta di Bandara Internasional Sydney, Australia (tahun 2001), salah seorang teman, kami rombongan yang pulang dari Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) di Melbourne, duduk di kursi roda. Tiba-tiba petugas yang memakai mobil listri mendadak mengerem di depan kami.
"Siapa keluarga atau temannya?" kata petugas sambil mendekati teman perempuan memakai jilbab yang duduk di kursi rosa. Petugas tadi pergi ke pintu masuk arah kapal terbang dan menunjuk-nunjuk petugas di sana. Tidak lama kemudian teman tadi didorong ke dalam kapal terbang. "Tenang, teman kalian sudah aman di dalam," kata petugas tadi sambil melanjutkan tugasnya.
Rasanya yang dilakukan petugas bandara tadi baik mimpi di siang bolong kalau hal itu terjadi di bandara-bandara di Nusantara.
Sebagai perekrut tenaga kerja melalui sebuah biro yang dipimpinnya waktu itu, Sartono mengatakan bahwa kalangan difabel bisa mengisi lowongan-lowongan yang sesuai dengan kapasitas mereka. Misalnya, operator telepon, juru ketik, penjaga mesin fotocopy, petugas di perpustakaan, dll.
Maka, amatlah repat kalau kemudian ada kuota untuk CPNS seperti yang dilansir "VOA Indonesaia" (13/9-2017): "Kuota CPNS untuk Difabel Kebijakan Positif." Dari 17.928 Â CPNS untuk 60 lembaga dan 1 pemerintahan provinsi ada kuota 166 (0,93 persen). Memang, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pemerintah diwajibkan memberikan kuota 2 persen bagi difabel dalam setiap proses penerimaan CPNS. Paling tidak langkah pemerintah yang baru memberikan jatah 0,93 persen merupakan sinyal positif.