Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sexting Dilakukan oleh Anak-anak pada Usia yang Kian Muda

9 September 2017   08:41 Diperbarui: 10 September 2017   16:35 4158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: mariajoseflorezarr.wixsite.com)

Telepon pintar tidak lagi dominasi kalangan remaja dan dewasa karena sudah jamak tampak anak-anak pun sudah memakai telepon pintar. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian australiaplus.com menulis judul berita "Usia Anak-anak Bertukar Pesan Seksual Semakin Muda" (8/9-2017).

Bertukar pesan yang berisiko konten seks, baik teks, foto dan video, melalui telepon pintar disebut sexting. Pesan yang berbau seks itu bisa saja tidak hanya sebatas kirim-mengirim, tapi bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius.

Disebutkan dalam berita bahwa setiap hari, Unit Investigasi Perlindungan Anak di Kepolisian Queensland, Australia, menangani satu kasus yang melibatkan anak di bawah umur terlibat sexting. Di Australia anak-anak berusia di bawah 16 tahun dikategorikan melawan hukum jika memotret dirinya sendiri dalam kondisi bugil atau mengirimkan teks dan foto berbau seks. Bahkan, biar pun si anak yang jadi korban anak ini tetap saja dijerat karena melakukan perbuatan melawan hukum.

Pengalaman Detektif Sersan Angus Kerr yang menangani sexting menunjukkan anak-anak itu mengumpulkan foto-foto sensual dirinya sendiri kemudian membuat folder pribadi. Foto-foto sensual itu kemudian merka unggah ke aplikasi Snapchat dengan kode 'For Your Eyes Only'.

Memang, pada mulanya teks, foto atau video itu mereka kirim ke seseorang yang mereka sukai. Celakanya, seseorang yang disukai itu justru mengirimkan kiriman itu ke teman-temannya. Begitu seterusnya.

Banyak di antara anak-anak itu yang tidak menyadari dampak buruk bagi diri mereka sendiri dan sanksi hukum yang akan mereka terima. Itulah sebabnya Sersan Kerr meminta agar orang tua mengawasi anak-anaknya jika anak-anak diberi izin masuk ke jejaring sosial. Sersan Kerr malah meminta orang tua lebih tegas dengan melihat ponsel anak-anak dan jejaring sosial yang mereka ikuti.

Fenomena sexting pada usia yang makin muda itu bagi Heidi Germann, seorang psikolog klinis yang berbasis di Rockhampton, hampir tak pernah terdengar 10 tahun yang lalu. Tapi, sekarang dalam kegiatannya sebagai psikolog Heidi telah melihat fenomena itu.

Menurut Heidi, sexting dimulai ketika anak-anak duduk di bangsu SMA saat mereka menjalani masa pubertas dan orang tua memberikan izin bagi anak-anak itu memakai ponsel secara pribadi. Pengalaman Heidi menunjukkan anak-anak dan orang tua datang dengan keputusaasaan karena anak-anak telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh orang tua. "Ini benar-benar sulit bagi mereka dan ada rasa malu yang sangat besar," kata Heidi tentang kondisi anak-anak dan orang tua terkait dengan sexting.

Masih menurut Heidi dalam banyak kasus, anak laki-laki yang meminta anak perempuan untuk mengirim gambar eksplisit dan anak-anak perempuan ini tidak memikirkan untuk diapakan foto-foto sensual yang mereka kirim ke teman laki-lakinya. Celakanya, anak-anak perempuan itu sadar ketika foto-foto sensual mereka suah tersebar di kalangan teman-teman satu sekolah.

Masalah yang dilihat Heidi adalah situasi ketika foto-foto itu tersebar tidak ditangani oleh orang tua dan pihak sekolah dengan cara-cara yang baik. Pendidikan di lingkungan keluarga dan sekolah pun dinilai Heidi tidak memberikan langkah yang konkret dalam menangani kasus-kasus sexting.

Sexting jadi bagian tersembunyi karena pembicaraan tentang seksualitas yang sangat tertutup di lingkungan keluarga dan sekolah. Semua masalah yang terkait dengan seks selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, semua hal terkait dengan seks pun hanya sebatas larangan dan mitos. Maka, amatlah bermakna cara-cara yang dilakukan keluarga Jepang dalam memberikan pendidikan tentang seksualitas kepada anak-anaknya (Anda Bisa Tiru Cara Keluarga Jepang Ini Lakukan Edukasi Seks).

Dalam sebuah liputan tentang 'penyakit kelamin' pada remaja di tahun 1990-an, penulis menemukan remaja yang membeli sendiri obat-obatan di pinggir jalan sehingga efek buruk mereka terima. Misalnya, ada remaja yang botak karena meminum obat 'penyakit kelamin yang dia beli di kaki lima. Kalau saja orang tua memberikan pendidikan seksualitas tentu anak-anak itu bisa mengendalikan diri dan terhindar dari penyakit kelamin.

Sersan Kerr kemudian memberikan wejangan kepada anak-anak "Jangan lakukan itu (mengirimkan foto diri yang sensual), saya pikir ada kampanye 'Simpan saja selfie untuk diri sendiri' dan memang begitu." Senada dengan Kerr, Heidi menambahkan: "Satu hal yang saya katakan pada remaja saat mereka masuk adalah, jika Anda pernah mengambil gambar dari diri Anda sendiri, pastikan Anda tidak memasang wajah Anda dalam gambar itu."

Bagaimana dengan kita, apakah kita sudah siap memberikan edukasi seksualitas yang komprehensif kepada anak-anak akan tidak jadi pelaku dan korban sexting? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun