Biar pun lokalisasi pelacuran yang di masa Orba disebut sebagai Resos (pusat rehabilitasi dan resosialisasi) pekerja seks komersial (PSK) sudah ditutup, tapi fakta menunjukkan praktek pelacuran tetap dan akan terus terjadi dalam berbagai bentuk.
Seperti yang dibongkar Polres Cianjur, Jawa Barat, ini. Praktek pelacuran menawarkan perempuan-perempuan muda dengan tarif short time Rp 300.000 (Polisi Bongkar Praktik Prostitusi yang Tawarkan Remaja di Cianjur, tribunnews.com, 7/9-2017). Dengan tarif Rp 300.000 (dalam berita tidak dijelaskan transaksi terjadi di mana dan bagaimana dengan sewa tempat) tentulah konsumen pelacuran itu bukan kalangan menengah ke bawah.
Polisi di berbagai daerah di Indonesia terus-menerus membongkar jaringan pelacuran dalam berbagai bentuk, mulai dari yang konvensional sampai dengan peralatan canggih memakai Internet.
Selama ini pelacuran dilihat dengan sudut pandang (angle) moral yaitu perempuan yang menajdi PSK disebut sebagai perempuan nakal, wanita tuna susila (WTS). Ada lagi yang menyebut PSK sebagai 'sampah masyarakat'.
Pertanyaan yang sangat mendasarkan adalah:
- kalau PSK disebut perempuan nakal, apa pula sebutan bagi laki-laki, terutama yang beristri, yang membeli seks PSK?
- - kalau PSK disebut sebagai WTS, lalu apa yang layak sebutan bagi laki-laki, terutama yang beristri, yang membeli seks PSK?
--- kalau PSK disebut sebagai 'sampak masyarakat', lalu apa yang layak sebutan bagi laki-laki, terutama yang beristri, yang membeli seks PSK?
Bahkan instansi resmi, seperti Kementerian Kesehatan (d/h. Departemen Kesehatan), Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), dll. menyebut PSK sebagai 'penjaja seks'. Ini jelas bias gender karena fakta menunjukkan laki-laki yang membawa-bawa, maaf, kemaluannya mencari PSK. Soalnya, dalam KBBI penjaja artinya menjajakan, misalnya, berkeliling kampung. Tidak ada PSK yang berkeliling kampung menawarkan, lagi-lagi maaf, kemaluannya (Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).
Itu artinya dalam kasus pelacuran yang jadi kambing hitam adalah PSK (baca: perempuan). Pengalaman penulis ketika melatih penceramah agama di Banda Aceh yang diselenggarakan oleh MAP (Medan-Aceh Partnerships) awal tahun 2000 salah satu peserta tidak mau mengubah pola pikirnya tentang PSK.
Menurut peserta ini transaksi seks dalam bentuk pelacuran terjadi karena ada PSK. Padahal, di beberapa negara yang memakai agama sebagai dasar negara secara de jure tidak ada pelacuran, tapi banyak warga dari negara-negara itu yang kemudian terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Secara medis salah satu cara penularan HIV yang paling banyak terjadi adalah melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
Laki-laki, lajang, duda atau yang beristri berada pada risiko tinggi tertular HIV jika pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung. Ini terjadi karena PSK langsung dan PSK tidak langsung sering berganti-ganti pasangan sehingga ada kemungkinan di antara pelanggan mereka ada yang mengidap HIV/AIDS sehingga PSK pun berisiko tertular HIV/AIDS.
Dengan demikian laki-laki 'hidung belang' lolos dari hukuman sosial karena yang salah adalah PSK. Maka, sampai kapan pun praktek pelacuran akan terus terjadi sehingga supply pun tidak akan berhenti seiring dengan demand yang sangat besar.
Laki-laki pelanggan PSK sama sekali tidak mendapat cap buruk (stigma) di masyarakat sehingga mereka pun merasa di atas angin. Akibatnya, melacur tidak lagi jadi beban karena secara sosial tidak ada penolakan terhadap laki-laki pelanggan PSK di masyarakat.
Catatan Kemenkes (d/h. Depkes) sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan 230.000 PSK langsung (PSK yang ada di tempat-tempat pelacuran). Dari jumlah ini 4,9 juta beristri (antarabali.com, 9/4-2013). Yang terjadi di Cianjur dan beberapa kota lain dalam bentuk prostitusi online adalah PSK tidak langsung sehingga jumlah laki-laki yang berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS sangat banyak jauh di antas angka 6,7 juta.
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian ahli-ahli epidemiologi menyebutkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 600.000 -- 700.000. Celakanya yang terdeteksi baru separuhnya. Itu artinya separuh lagi jadi mata rantai penyebaran HIV yang kelak sampai pada kondisi 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H