Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebiasaan di Angkutan Darat dan Laut (yang) Dibawa-bawa ke Angkutan Udara

5 September 2017   09:48 Diperbarui: 5 September 2017   15:32 6210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membaca berita "Dorong Pramugari, Penumpang di Kualanamu Dikeluarkan dari Pesawat" (detikNews, 4/9-2017) yang terjadi karena pramugari menegur sepasang penumpang yang membawa barang ke kabin (hand carry)melebihi aturan,saya teringat pengalaman di Bandara Polonia Medan ketika airline berongkos murah mulai beroperasi di tahun 1990-an.

Calon penumpang berdesakan di pintu arah ke apron. Ini jadi aneh. Wong semua penumpang dapat nomor tempat duduk, untuk apa berebut naik ke kapal terbang?

Setelah di dalam kabin saya baru tahu jawabannya. Rupanya, ada penumpang yang membawa banyak barang tentengan sehingga mulai dari depan mereka memasukkan barang bawaan ke tempat barang, bahkan ada yang sampai ke tempat duduk paling belakang. Saya pun tak kebagian tempat untuk menaruh barang sehingga tas terpaksa di bawah kaki.

Memang, ketika berdesakan di terminal ada yang menenteng tas di tangan kiri dan kanan, membawa tas di bahu kiri dan kanan dan mendorong koper. Itu artinya ada lima potong barang bawaan ke kabin. Itu mereka lakukan agar tidak masuk bagasi sehingga terhindar dari timbangan.

Perusahaan penerbangan juga tidak tegas dalam menangani penumpang yang membawa barang tentengan ke kabin melebihi aturan. Di beberapa maskapai internasional selalu diingatkan ketika check in bahwa yang boleh dibawa ke kabin hanya satu: "Only one."

Dalam sebuah penerbangan dengan MAS dari Manila ke Jakarta yang bermalam di Kuala Lumpur (di tahun 2000-an), ada teman yang terpaksa tidak ganti pakaian karena pakaian ada dalam tas yang dipaksa harus ke bagasi. Teman itu membawa dua barang tentengan: berisi laptop dan pakaian. Tentu saja yang dipilih ke kabin adalah tas berisi laptop.

Kondisi itu jauh berbeda dengan pemandangan di terminal bandara-bandara di Indonesia. Penumpang membawa lebih dari satu barang tentengan: ada koper, ransel, tas kresek, dll. Maka, ketegasan pramugari "Citilink" dan pilot yang membatalkan penerbangan pasangan suami-istri di Bandara Kualanamu Medan itu pantas diacungi jempol.

Bayangkan suami istri RS dan NS itu membawa 8 potong barang tentengan. Mereka berada di uturan depan ketika hendak boarding. Ini salah satu ciri khas penumpang yang membawa banyak barang tentengan agar mereka bisa meletakkan barang di tempat barang selain di atas tempat duduk mereka.

Barang tentengan pun tidak boleh lebih dari 7 kg dengan ukuran yang tidak besar agar bisa dimasukkan ke tempat barang di kabin. Di tempat check in ada alat ukur besar barang yang bisa masuk ke kabin. Tapi, ada penumpang yang tidak membawa barang tentengan ketika check in sehingga petugas tidak mengetahui kalau calon penumpang tadi membawa barang melebihi berat dan ukuran yang diperbolehkan dibawa ke kabin.

Di banyak bandara di luar negeri kalau pintu masuk ke kapal terbang hanya dari pintu depan, maka yang duluan masuk adalah dengan nomor tempat duduk besar. Misalnya, tempat duduk sampai nomor 40. Maka, yang duluan masuk adalah nomor 20-40. Tapi, di Indonesia terjadi 'kemacetan' di antrian ketika hendak masuk ke kabin karena penumpang nomor kecil sibuk mengatur barangnya yang menghalangi penumpang menuju ke kursi nomor besar.

Sudah saatnya pengelola bandara dan perusahaan airline memberlakukan aturan barang tentengan dan nomor urut masuk ke kabin dengan tegas tanpa pandang bulu. Perilaku sebagian penumpang menggambarkan budaya di angkutan umum dan angkutan laut. Bus-bus antar kota pun mulai membatasi barang bawaan penumpang, barang bawaan yang melebih ketentuan diharuskan membayar ongkos barang sebagai barang kiriman.

Memang, tidaklah mudah mengubah perilaku dari budaya angkutan darat dan laut yang secara umum lebih longgar ke budaya angkutan udara yang diatur dengan berbagai regulasi.

Seperti penggunaan telepon genggam yang dilarang sejak masuk ke kabin, ternyata ada saja penumpang curi-ciri memakai ponsel. Tapi, ketika ada goncangan mereka komat-kamit dan kabin berubah dari 'rumah ibadah' (Ketika Kabin Kapal Terbang Jadi "Rumah Ibadah"). Padahal, dengan menghidupkan ponsel bisa menggangu sinyal percapakan pilot dengan menara pengawas dan sinyal kebakaran di bagasi. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun