Sudahbukan rahasia umum kalau banyak orang Indonesia yang tidak mau mengantri, seperti di loket, teller bank, dll. Maka tidaklah mengherankan kalau kemudian dikabarkan kalau guru-guru di Australia lebih mengutamakan mendidik anak-anak agar taat mengantri daripada mengejar nilai matematika. Disebutkan bahwa mendidik moral seseorang, seperti agar taat antri membutuhkan waktu 15 tahun, bandingakan dengan mengajar anak-anak untuk memahami matematika dan meningkatkan nilai akademis cukup tiga sampai enam bulan saja (kaskus.co.id, 22/6-2010).
Nah, itulah yang berkecamuk di benak saya ketika satu dua pengunjung Poli Mata Kirana Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) yang lebih dikenal sebagai RSCM di Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Soalnya, saya tiba di depan gerbang poli itu pukul 03.10 (24/8-2017), baru 20 menit kemudian datang lagi satu, berikutnya datang lagi dua, dst. Biasanya baru pukul 03.30 Satpam meletakkan papan penjepit kertas lengkap dengan kertas dan ballpoint. Yang datang mencatat nama pasien.
Musuh paling besar di sana adalah nyamuk. Satpam di pos penjagaan memakai raket nyamuk sehingga terdengar krak, krak, krak .... ketika raket diayun dan menyambar nyamuk yang berterbangan.
Menjelang pukul 03.30 Satpam datang ke gerbang membawa penjepit kertas. "Bapak ini tadi yang duluan datang," kata Pak Satpam sambil menyodorkan papan penjepit kepada saya.
Sejenak saya termangu karena beberapa orang mulai mendekat, tapi Pak Satpam rupanya jeli dan konsekuen. "Terima kasih, Pak Satpam."
Pukul 06.00 Satpam memanggil nama pasien sesuai urutan yang tertulis di papan penjepit untuk mengambil nomor antrian ke bagian administari yang mulai buka pukul 07.30. Di pintu masuk ke mesin nomor antrian pun sering juga berjubel padahal nomornya besar. Satpam memanggil 10 orang per rombongan, misalnya dari nomor 1 sampai nomor 10. Begitu seterusnya.
Keruwetan belum selesai karena di pintu masuk ke bagian pendaftaran juga berjubel, padahal yang dipanggil pertama adalah nomor antrian dengan kode E yaitu yang akan menjalani pembedahan (operasi), disusuk pasien baru dengan kode A, selanjutnya pasien kontrok dengan kode J.
Di pintu masuk pendaftaran yang dipanggil nomor. Maka, kalau nomor besar 'kan tidak seharusnya berjubul di pintu karena sekali panggil 20 pasien. Sering disebut sebagai 'kloter' (ini dari istilah pemberangkan calon jemaah haji yaitu kelompok terbang).
Maka, sudah saatnya ada pendidikan dan regulasi menghormati hak orang yang sudah mengantri duluan. Melihat kondisi 'naked power' yang tetap jadi gaya pejabat dan aparat, seperti di bandara sudah tidak bisa lagi dengan anjuran dan himbauan sehingga perlu sanksi pidana tapi dengan hukuman sosial.
Paling tidak saya sudah beberapa kali mengalami penundaan penerbangan dan penundaan turun dari kapal terbang karena ada pejabat [Demi Membela (Kesalahan) Pejabat, Garuda Berbohong kepada Penumpang].
Umpanya, membatalkan penerbangan atau menunda penerbagan pejabat, aparat dan orang-orang yang memakai 'kekuatan' uang yang tidak taat waktu sehingga penerbangan diundur (delay). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H