Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kasus HIV/AIDS Nasional Mendekati Angka Setengah Juta

11 Juli 2017   08:44 Diperbarui: 12 Juli 2017   12:58 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017, menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS secara nasional sejak tahun 1987 sd. Maret 2017 berjumlah 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS.

Sejak awal epidemi pakar-pakar epidemiologi nasional dan internasional sudah mengingatkan Indonesia agar sungguh-sungguh menanggulangi penyebaran HIV, khusunya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dan pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran.

Subsitusi Metadon

Estimasi berbagai kelangan terkait dengan epidemi HIV di Indonesia pada kisaran angka 270.000 di tahun 1990-an. Angka ini sudah terlampui bahkan jauh lebih besar karena jumlah yang disebut Ditjen P2P itu hanya kasus-kasus yang dilaporkan oleh instansi terkait. Padahal, tidak sedikit kasus HIV/AIDS terdeteksi di klinik dan rumah sakit swasta serta praktek pribadi dokter yang kemungkinan besar tidak dilaporkan karena kepentingan pasien. Selain itu tidak ada mekanisme yang efektif dan aktif dalam menemukan kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Celakanya, banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Soalnya, sampai 15 pun bisa terjadi tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan kondisi kesehatan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Sedangkan pada penyalahguna narkoba insiden infeksi HIV baru relatif bisa ditangani karena penyalahguna dengan jarum suntik ditarik mengikuti program subtitusi metadon yaitu narkoba sintesis cair sehingga mereka tidak lagi menylahaguna narkoba dengan jarum suntik. Soalnya, risiko penyebaran HIV di kalangan penyalahguna narkoba terjadi karena mereka memakai jarum suntik dan peralatan yang sama secara bergiliran.

Jika salah seorang dari mereka mengidap HIV/AIDS, maka ada risiko yang lain tertular karena darah pengidap HIV/AIDS masuk ke jarum suntik. Ketika jarum suntik dipakai yang lain maka ada kemungkinan darah di jarum dan piston masuk ke aliran darah. Risiko penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV mencapai 90 persen.

Yang jadi masalah besar di Indonesia adalah pemerintah sama sekali tidak bisa menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung karena praktek PSK langsung pun, yaitu lokalisasi pelacuran, sudah ditutup sejak reformasi. Lokasisasi pelacuran sekarang tinggal hitungan jari.

PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017
Ketika jumlah kasus HIV/AIDS di Thailand mendekati angka 1.000.000 pemerintah Negeri Gajah Putih itu pun menjalankan lima program simultan denga skala nasional, yaitu meningkatan peran media massa sebagai media pembalajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS  di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000)

Mata Rantai

Sayangnya, program penanggulangan di Indonesia mengekor ke ekor program Thailand itu dan tidak dengan program yang konkret. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia ramai-ramai dengan euforia reformasi membuat peraturan daerah (Perda) yang mengacu ke program Thailand tapi yang dipakai ekor program Thailand yaitu pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung (Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand).

Yang jadi masalahbesar adalah mekanisme pengawasan di perda-perda AIDS yang ada tidak konkret. Yang dihukum PSK, seperti yang sudah dilakukan di Kabupaten Merauke, Papua. PSK dipenjarakan karena terdeteksi mengidap sifilis atau GO. Ini tidak ada manfaatya karena:

(1) Satu PSK dipenjarakan puluhan bahkan ratusan PSK baru bisa didatangkan germo. Thailand justru menghukum germo kalau ada 'anak asuh' dia yang terdeteksi mengidap sifilis atau GO sehingga germo akan memaksa laki-laki pakai kondom karena terkait dengan kelangsungan udaha mereka sebagai germo.

(2) Kemungkinan pertama PSK itu tertular sifilis atau GO dari laki-laki penduduk setempat, sehingga laki-laki tsb. jadi mata rantai penyebaran sifilis atau GO atau kedua-duanya. Bahkan, bisa jadi laki-laki itu juga mengidap HIV/AIDS karena penularan sifilis, GO dan HIV melalui hubungan seksual persis sama.

(3) Kemunginan kedua PSK itu sudah mengidap siflis atau GO atau kedua-duanya, bahkan juga ada kemungkinan mengidap HIV/AIDS ketika tidak di daerah baru tsb. Itu artinya laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK berisiko tinggi tertular sifilis atau GO atau kedua-duanya bahkan juga dengan HIV.

Nah, laki-laki yang menularkan sifilis, GO atau HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular  sifilis, GO atau HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran sifilis, GO dan HIV di masyarakat. Buktinya adalah penemuan kasus sifilis, GO atau HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.

Yang banyak dlakukan sekarang adalah mengajak dan menganjurkan tes HIV. Ini jelas hanya program di hilir karena ketika ada yang terdeteksi itu artinya mereka sudah tertular HIV. Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, pemerintah sama sekali tidak bisa menjalankan program seperti yang dilakukan Thailand karena: (a) penolakan besar-besaran terhadap kondom, dan (b) lokalisasi pelacuran ditutup.

Fakta Medis

Program 'wajib kondom bagi laki-laki ' ketika melakukan hubungan seksual hanya bisa dijalankan pada PSK langsung di lokalisari pelacuran melalui intervensi dalam bentuk regulasi. Sekarang program tsb. otomatis tidak bisa dijalankan karena program itu tidak bisa diterapkan pada PSK tidak langsung karena transaksi seks terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat melalui komunikasi Internet, ponsel dan media sosial.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dengan bangga selalu mengatakan akan menutup semua tempat pelacuran, tapi mengabaikan praktek pelacuran yang terjadi dan membuat program penanggulangan tidak bisa dijalankan dengan efektif. Jika dilihat dari tabel laporan kasus jumlah kasus yang dilaporkan Jawa Timur mendekat Jakarta. Padahal, kasus HIV/AIDS di Jakarta banyak yang bukan penduduk Jakarta bahkan ada WNA. Padahal, Mensos Khofifah mengatakan di Jawa Timur paling banyak ditutup lokalisasi pelacuran.

Perda-perda AIDS itu, jumlahnya 96 serta 10 peraturan gubernur, bupati dan walikota, sama sekali tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret di hulu. Bahkan, perda-perda itu lebih mengutamakan penanggulangan dengan norma dan moral yang sama sekali tidak bisa dijalankan. Misalnya, ada perda yang mengandalkan "iman dan taqwa". Bagaimana mengukur "iman dan taqwa" yang bisa mencegah penularan HIV? Apa alat ukurnya? Siapa yang berhak mengukurnya?

HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis. Tapi, karena sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah dibalut dengan norma dan moral, maka yang berkembang pesat adalah mitos (anggapan yang selah) tentang penularan dan pencegahan HIV.

Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan homoseksualitas, zina, pelacuran, perselingkuhan, dll.  Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual) bukan karena homoseksual, zina, pelacuran, dll. (sifat hubungan seksual).

Ketika insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewsa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung akan terus terjadi dan pemerintah tidak bisa berbuat banyak, maka langkah konkret adalah menyelamatkan bayi-bayi yang akabn lahir.

Caranya, dengan membuat regulasi dalam bentuk UU, Perda, dll. yang mewajibkan seorang suami menjalan tes HIV ketika istrinya hamil. Jika suami terdeteksi mengidap HIV/AIDS baru istrinya yang hamil dites agar bisa dilakukan langkah-langkah medis untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungan.

Teknologi kedokteran bisa mencegah penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya sampai nol persen. Untuk itulah diperlukan regulasi agar bayi-bayi yang lahir kelak tidak jadi beban negara karena mereka lahir tanpa HIV/AIDS. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun