Berita kejahatan seksual, seperti perkosaan, selalu dijadikan sebagian media massa dan media online sebagai berita yang seksi. Ini contohnya. Kapolsek Seririt, Loduwyk Tapilaha, mengatakan, PAK melucuti .........(menggambarkan kegiatan yang dilakukan pelaku dalam bentuk kejahatan seksual-pen.), dan langsung memasukkan ....... ......... (menggambarkan kegiatan yang dilakukan pelaku dalam bentuk kejahatan seksual-pen.) korban. Selain itu, pelaku juga memasukkan ...... (menggambarkan kegiatan yang dilakukan pelaku dalam bentuk kejahatan seksual-pen.) korban sebanyak satu kali. Pernyataan ini ada dalam berita "Bocah Lima Tahun Diperkosa ABG Dalam Keadaan Setengah Telanjang di Kamar!" (Tribun Bali, 27/6-2017).
Ini perkosaan yang dilakukan seorang laki-laki inisial PAK berumur 15 tahun terhadap bocah cewek umur 5 tahun di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, tanggal 26/6-2017 pukul 17.00 WITA.
Dalam kaidah jurnalistik memaparkan perilaku seorang pelaku kejahatan, hal ini kejahatan seksual yaitu perkosaan, juga dikategorikan sebagai tindakan perkosaan lapis kedua (the second rape). Dalam hal ini dilakukan oleh wartawan yang menulis berita tsb. dan polisi yang memaparkan kegiatan-kegiatan pelaku ketika memerkosa korban.
Untuk apa polisi menjelaskan secara rinci perkosaan tsb.?
Polis, dalam hal ini Kapolsek Seririt, cukup menyebutkan bahwa pelaku melakukan seks penetrasi dan memaka jari. Ini sudah memberikan gambaran yang utuh tentang tindak kejahatan seksual tsb. Tidak perlu Pak Kapolsek menjelaskan dengan rinci yang pada akhirnya juga berperan sebagai pelaku.
Untuk apa pula wartawan menulis rincian perkosaan tsb.?
Apakah harus memaparkan kejadian secara rinci agar berita tsb. faktual?
Rincian kegiatan pelaku hanya untuk proses penyidikan yang dituangkan di berita acara pemeriksaan (BAP) dan rekonstruksi bukan untuk konsumsi publik yang disebarluaskan melalui media massa.
Keterangan dari Kapolsek Seririt, Loduwyk Tapilaha, tentang perkosaan itu sudah faktual tanpa harus merinci kegiatan pemerkosa.
Pemaparan kejadian perkosaan secara rinci akan menjadi beban bagi korban dan keluarganya yang bisa saja mendorong stigma (cap buruk) dan kehinaan bagi korban dan keluarganya.
Reportase wartawan itu menempatkan wartawan dan polisi pada posisi memegang kendali (powerfull dan voicefull) sejajar dengan pemerkosa sedangkan korban ada pada posisi tidak berdaya (powerless dan voiceless).
Adalah jauh lebih arif dan bijaksana kalau wartawan memakai perspektif dalam menulis berita kejahatan seksual dengan menempatkan diri sebagai korban sehingga tidak berpihak pada pelaku. Polisi juga diharapkan bisa lebih bijaksana memberikan keterangan kepada wartawan agar tidak merugikan korban.
Kalau saja wartawan memahami parafilia, maka pembahasan tentang kasus ini dari aspek parafilia jauh lebih bagus karena kasus ini salah satu bentuk parafilia (menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain) yaitu infantofilia (laki-laki dewasa menyaluran dorongan sekssual kepada anak-anak umur 0-7 tahun. Catatan penulis sejak Oktober 2013 kasus infantofilia yang ditangani polisi sudah ada 41.
Untung saja polisi tidak menyebutkan alasan pelaku memerkosa, seperti dalam banyak berita dengan mengatakan pelaku baru menonton video porno, dll. Sudah saatnya polisi tidak memberikan panggung kepada pelaku kejahatan, khususnya kejahatan seksual.
Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual adalah kejahatan luar biasa yang menyerang harkat dan martabat perempuan sehingga hukuman maksimal, seperti hukuman mati di banyak negara, pantas diberikan kepada pelaku kejahatan.
Celakanya, sikap setengah orang terutama sebagian media massa justru selalu menyalahkan korban (baca: perempuan). Ini terjadi karena partiarkat yang mengakar dan membudaya di negeri ini. *
*KA Krakatau Jurusan Lempuyangan, Yogyakarta, diposting di Sta KA Cirebon, 15.30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H