Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Banyak kasus baru justru terdeteksi secara pasif yaitu ketika mereka sakit dan berobat ke puskesmas atau rumah sakit dengan keluhan penyakit-penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS. Petugas medis akan meminta pasien-pasien dengan indikasi infeksi oportunistik untuk menjalani tes HIV.
Tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Yang ada hanya anjuran tes HIV kepada ibu-ibu yang sedang hamil, sementara suami tidak menjalani tes HIV. Itu artinya suami-suami penular HIV ke istri akan jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat tertuama melalui hubungan seksual (seks vaginal dan seks anal) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selain itu penemuan kasus baru diperoleh dari penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian karena mereka wajib tes HIV ketika hendak mejalani terapi di pusat-pusat layanan narkoba. Belakangan penemuan kasus pada penyalahguna narkoba jauh berkurang karena narkoba yang dipakai beralih ke sabu-sabu yang dihirup sehingga tidak memakai jarum suntik.
Sudah saatnya Indonesia membuat program yang konkret untuk mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS baru di masyarakat tanpa melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 8/2-2017, menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 -- 31 Desember 2016 mencapai 319.103 yang terdiri atas 232.323 HIV dan 86.780 AIDS.
Tanpa program yang konkret dan sistematis penemuan kasus baru akan terhambat sehingga penyebaran HIV secara horizontal terus bertambah. Kondisi tsb. akan jadi pemicu 'ledakan AIDS'. *
Kediri, Jawa Timur, 7/6-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H