Dalam pernyataan kian kabur karena diminta menyatakan “tidak dalam kelompok/kaum Lesbian, Gay, Transgender (LGBT)”. Apakah yang dimaksud kelompok atau kaum sebagai tergabung dalam organisasi LGBT?
Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, juga angkat bicara melalui akun Twitter @irwanprayitno dengan mengatakan: "Hak setiap orang menikmati pendidikan yang merata dan hak mahasiswa Unand merasa aman dari penyimpangan seksual.”
Disebutkan “hak mahasiswa Unand merasa aman dari penyimpangan seksual”.
Pertama, apa yang dimaksud dengan ‘penyimpangan seksual’? Dikesankan bahwa ‘penyimpangan seksual’ hanyalah yang terkait dengan LGBT. Padahal, kalau bicara soal aktivitas terkait LGBT, pasangan suami istri yang sah pun tidak sedikit yang melakukan praktek-praktek hubungan seksual ala LGBT, seperti seks oral dan seks anal, bahkan posisi “69”.
Kedua, apakah mahasiswa dan mahasiswi yang belum menikah tapi sudah pernah, sering atau bahkan terus-menerus melakukan hubungan seksual tidak termasuk ‘penyimpangan seksual’?
Ketiga, bagaimana mewujudkan “hak mahasiswa Unand merasa aman dari penyimpangan seksual”? Apakah ‘penyimpangan seksual’ mahasiswa dan mahasiswi Unand hanya akan terjadi kalau ada LGBT yang jadi mahasiswa dan mahasiswi?
Saudara-saudara kita yang terlahir sebagai waria banyak yang menerima perlakuan yang tidak adil di masyarakat hanya karena ada sebagian dari mereka yang melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan moral, seperti menjalani pekerjaan yang melayani praktek-praktek terkait dengan seks.
Tidak Ingkari Cinta
Tapi, perlu juga disoal karena yang, maaf, memakai jasa waria terkait dengan kegiatan-kegiatan seks justru laki-laki dewasa heteroseksual, sebagian beristri. Studi yang dilakukan oleh sebuah organisasi di Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan bahwa yang banyak memakai jasa waria adalah laki-laki dewasa beristri. Alasan mereka, seperti teruangp dalam studi tsb. (tahun 1990-an) jika melakukan kegiatan seksual dengan waria tidak memakai penis ke vagina sehingga mereka merasa tidak mengingkari cinta (dengan istrinya).
Begitu juga dengan biseksual. Mereka mempunyai istri atau suami yang terikat dalam pernikahan yang sah secara agama dan hukum, tapi di luar pernikahan mereka melakukan hubungan seksual sejenis. Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS biseksual menjadi jembatan penyabaran IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes genitalis, dll.), virus kanker serviks (HPV), dan HIV/AIDS. Bisa juga terjadi serentak kalau di antara pasangan itu mengiap lebih dari satu IMS.
Memarginalkan waria sudah lama terjadi. Di kampung penulis, misalnya, di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, di tahun 1960-an waria tidak mempunyai kesempatan untuk bekerja. Karena waktu itu penulis belum memahami LGBT, penulis tidak bertanya kepada alm. Ayah mengapa dia mempekerjakan seorang waria jadi sais andong. Waria itu seorang anak yatim dengan beberapa saudara kakak dan adik. Caci-maki, hinaan, cercaan, dst. jadi sarapan pagi saya ketika jalan kaki ke sekolah (SMP). Mereka mengejek alm ayah karena memberikan pekerjaan kepada waria, mereka sebut banci (Memberikan Pekerjaan Laki-laki Kepada Waria).