Kalau diamati informasi atau ‘berita’ yang disebut hoax jelas tidak masuk akal. Tapi, banyak orang yang justru mencari-cari informasi atau ‘berita’ yang mereka inginkan. Inilah faktor utama yang membuat informasi atau ‘berita’ hoax akan terus ada karena ada segmen peminatnya.
Hoax sendiri adalah informasi atau kabar yang dikemas seperti layaknya berita, tapi isi, muatan atau konten kabar tsb. tidak masuk akal. Hoax memang direkonstruksi dari berita, informasi, data dan fakta yang beredar tapi dengan memelintir atau mengubah konten sehingga sesuai dengan yang diinginkan ‘the haters’ dan yang bukan ‘the haters’ sebagai bahan untuk menyerang.
Terkait dengan World Press Freedom Day 2017, misalnya, Presiden Jokowi mengatakan, baik media mainstream maupun media online mestinya meluruskan kalau ada berita-berita yang tidak benar, ada berita-berita yang bohong atau hoax, ada ujaran-ujaran yang tidak baik. Sehingga, masyarakat menjadi tercerahkan oleh pelurusan itu (setkab.go.id, 4/5-2017).
Sedangkan Wapres Jusuf Kalla mengatakan Dalam sambutannya, JK mengatakan bahwa hoax atau berita bohong saat ini berasal dari perkembangan teknologi.Namun demikian harus diberantas dengan teknologi dan hal itu merupakan tugas dari media arus utama yang harus mengawasi beredarnya berita hoax (tribunnews.com, 28/4-2017).
Ada fakta yang luput dari perhatian bahwasanya ada orang yang justru mencari-cari informasi atau berita yang sesuai dengan kebenciannya. Maka, mereka memakai kata kunci (tag) nama yang dikaitkan dengan kebencian mereka. Misalnya, A mantan rampok, dll.
Karena A bukan seorang mantan rampok, maka media-media yang memegang teguh amanat jurnalisme yaitu Kode Etik Jurnalistik dan self censoship tidak akan memuat berita dengan kata kunci “A mantan rampok”. Tapi, layanan informasi online yang tidak taat azas jurnalisme akan membuat informasi dalam bentuk berita dengan kata kunci “A mantan rampok”. Ketika dicari dengan bantuan ‘Mbah” google akan muncul alamat-alamat situs atau web sesuai dengan kata kunci yang dicari.
Orang-orang yang menaruh kebencian tidak akan membaca media-media yang taat azas karena mereka tidak akan mendapatkan yang mereka harapkan yaitu informasi yang jelek dan buruk tentang A.
Maka, yang diperlukan bukan meluruskan informasi yang menyesatkan, tapi menulis berita yang komprehensif tentang A tanpa harus menyebut-nyebut bahwa informasi di situs atau web anu salah. Jika dilakukan counter secara langsung, itu akan membuat layanan hoax kian bersemangat memelintir informasi tentang A.
Dari pengamatan penulis di beberapa status di media sosial tentang hoax, ada kesan kepusaan bagi penikmat hoax ada informasi seperti yang mereka inginkan. Mereka dengan semangat yang menggebu-gebu menyebarluaskan informasi hoax tsb. dengan dibumbui komentar mereka yang tentu saja juga ‘miring’.
Persoalan besar terkait dengan media, khususnya media massa, di Indonesia adalah UU Pers No 40/1999 yang sangat liberal. Sama sekali tidak ada rem yang bisa menahan laju ‘kebebasan pers’ sehingga sebagian pers di Tanah Air bukan lagi menganut azas ‘freedom of the press’ (kebebasan pers) tapi sudah pada kondisi ‘free press’ (pers bebas).
Dalam UU Pers tidak ada sanksi hukum bagi wartawan dan media yang melakukan kesalahan terkait dengan objek berita. Dikesankan dengan Hak Jawab semua selesai. Ini yang konyol. Kalau terkait dengan kepeintingan umum boleh-boleh saja, tapi kalau terkait dengan pribadi, harga diri, fitnah, pencemaran nama baik, serta harkat dan martabat manusia apakah dengan Hak Jawab citra buruk dan derita bisa pupus?