Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jika Terusan Kra Dibuka, Siapkah Sabang Menjadi Pelabuhan Internasional?

2 Mei 2017   10:57 Diperbarui: 2 Mei 2017   14:54 2690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelabuhan Bebas Sabang (Sumber: id.wikipedia.org)

Selama ini kapal laut dari arah Barat yang akan menuju ke Asia Timur melewati Selat Malaka kemudian mampir di Singapura. Pada jalur ini posisi Sabang tidak ‘tersentuh’, tapi jika kelak Terusan Kra di Thailand bagian selatan sepanjang 102 km beroperasi, disebut tahun 2025, maka Sabang akan jadi penting seperti layaknya Singapura pada pelayan ‘tradisional’.

Tapi, biar pun posisi Sabang, Titik Nol di barat Indonesia, yang sangat potensial pada jalur pelayaran lewat Terusan Kra tidak akan dilirik perusahaan-perusahaan pelayaran besar jika tidak ada fasilitas yang setara dengan Singapura untuk keperluan industri pelayanan dunia.

Sesumbar Indonesia ketika membangun Pulau Batam, d/h Provinsi Riau, sekarang masuk Provinsi Kepulauan Riau, dengan kekuatan dan kekuasaan berbentuk otorita untuk menyaingi Singapura ternyata hanya angan-angan bak punguk rindukan rembulan. Selain pelabuhan ditargetkan pula Bandara Hang Nadim jadi pilihan utama menggantikan Changi yang sudah sangat padat.

Tapi, apa yang terjadi? Pada tahun 1997 dalam sebuah penerbangan penulis dengan Garuda yang memakai pesawat terbang DC-10 dari Jakarta ke Batam justru dipandu dari Changi. “Kita dipandu dari Changi,” kata awak kabin kapal terbang itu menenteramkan penumpang dalam penerbangan yang gelap-gulita itu karena tidak ada yang tampak dari jendela. Soalnya, ketika itu asap menyelimuti Pulau Sumatera sehingga jarak pandang yang pendek tidak memenuhi standar penerbangan.

Satu hal yang luput dari perhatian adalah bahwa yang diperlukan tidak hanya sebatas sarana dan prasarana, seperti peralatan yang canggih, hotel berbintang lima, dll. Tapi, ada satu faktor yang sangat menentukan yaitu pelayanan yang cepat dan bersih dari pungli. Tentu ini tidak akan bisa diberikan karena fakta menunjukkan dwelling time di pelabuhan-pelabuhan nasional bisa behari-hari. Ini akan merugikan perusahaan pelayaran, apalagi semua urusan harus disertai dengan “sumut” (semua urusan mesti uang tunai). Perusahaan-perusahaan internasional sangat tidak mau kompromi dengan pungutan liar (pungli) yang tidak berdasarkan aturan baku dan tidak dilengkapi dengan kuitansi resmi.

Perbandingan jalur pelayaran lewat Terusan Kra dan lewat Singapura (Sumber: POSTgraphics)
Perbandingan jalur pelayaran lewat Terusan Kra dan lewat Singapura (Sumber: POSTgraphics)
Jika dibandingkan jarak pelayaran dari Samudra Indonesia di ujung utara Sumatera, sebut saja Sabang, melewati Selat Malaka sampai Singapura lalu ke utara perairan Laut China Selatan dan dari Sabang lewat Terusan Kra ke timur perairan Laut China Selatan sekitar 1.2000 km. Tentu saja perusahaan pelayaran akan memilih jalur lewat Terusan Kra karena menghemat waktu dan biaya. Selain memotong jalur juga menghindari perompak yang marak di Selat Malaka sampai Singapura.

Selain Selat Malaka jalur pelayaran yang melewati perairan Indonesia adalah dari barat melewati Selat Sunda atau Selat Lombok menuju Utara. Jika Terusan Kra beroperasi bisa jadi kapal yang selama ini melewati jalur pelayaran Selat Sunda dan Selat Lombok akan berpaling melewati Terusan Kra.

Jika Terusa Kra beroperasi, maka dengan kondisi Pelabuhan Bebas Sabang seperti sekarang ini tentulah kapal-kapal niaga besar, bahkan ada kapal-kapal kargo raksasa dan kapal-kapal tanker besar (VLCC-very large crude carrier) akan enggan berlabuh di Sabang.

Terusan Kra (Sumber: www.nextbigfuture.com)
Terusan Kra (Sumber: www.nextbigfuture.com)
Selain menyiapkan fasilitas pelabuhan yang setara dengan Singapura yang tidak kalah pentingnya, dan justru jari faktor utama, adalah pelayanan yang memenuhi standar internasional. Yang juga penting adalah pelayanan bebas pungli dan premanisme.

Peraturan-peraturan di Aceh yang berasaskan agama juga bisa jadi batu sandungan, seperti larangan miras, dll. Tanpa fasilitas hiburan tentulah sebuah pelabuhan tidak akan pernah disinggahi oleh kapal-kapal niaga. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun