Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekolah dan Orang Tua yang Mengeksploitasi Anak-anak

21 April 2017   22:27 Diperbarui: 23 April 2017   00:00 2007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Susana pendidikan usia dini (Sumber: cps.edu)

“Aduh, Pak, masuk TK paling murah tujuh ratus rebu,” kata seorang perempuan muda di Sta KA Krenceng, Cilegon, Banten (1/4), tentang anaknya yang tidak bisa masuk TK. Itu belum termasuk peralatan sekolah, seperti tas, buku tulis, pakaian, sepatu, dll. Pakaian pun tidak cukup satu karena setiap hari berbeda.

Bukan Unsur Pengajaran

Bukan hanya di waktu masuk, tapi selama pendidikan pun banyak uang yang harus keluar untuk kegiatan. Beban orang tua bertambah karena di akhir pendidikan ada tamasya dan pesta kelulusan.

Padahal, alm Prof Dr Fuad Hassan ketika menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) tahun 1985 - 1993 di era pemerintah Soeharto dengan tegas menolak seragam sepatu dengan alasan pakaian, sepatu, tas dan buku bukan unsur pengajaran. Bertelanjang dada dan kaki ayam pun tidak boleh ditolak jika memang orang tua anak-anak itu tidak bisa membeli kemeja dan sepatu.

Keluh-kesah anak-anak di pedalaman Bengkayang, Kalimantan Barat, tentang tas mereka ke sekolah yang hanya membawa ‘tas kresek’ dan kemeja putih yang sudah menguning tidak akan pernah terjadi kalau anjuran Prof Fuad Hassan dijadikan filosofi pendidikan. Untunglah Presiden Jokowi kemudian mengirimkan perlengkapan ke bebarapa sekolah di sana setelah membaca keluhan anak-anak tsb. di media sosial (Murid-murid SD di pedalaman Kalimantan 'sangat senang' dengan bantuan Presiden Jokowi).

Selama PAUD dan TK dijadikan kancah bisnis, maka itu artinya eksploitasi anak-anak akan memperbesar jurang perbedaan antara Si Kaya dan Si Miskin. ‘Kelas ekonomi’ orang-orang tua yang mengantar dan menunggu anak di PAUD dan TK juga sangat tajam perbedaannya. Bisa saja kondisi ini jadi arena persaingan pula.

Dengan pijakan bisnis tentulah pengelolaan PAUD dan TK akan terus berbenah dengan harapan ongkos yang harus dibayar orang tua akan terus bertambah jumlahnya. Hal ini tidak jadi jaminan kualitas ‘lulusan’ PAUD dan TK akan lebih baik daripada anak-anak yang tidak melalui PAUD dan TK. * 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun