Ucapan pelaku kejahatan seksual, pelecehan seksual, sodomi dan perkosaan, yang bernada pembelaan melalui ‘panggung’ yang diberikan kepolisian dan menteri bisa ‘mengilhami’ pelaku-pelaku atau calon pelaku kejahatan seksual untuk bela diri dengan mengatakan mereka dulu korban sodomi atau terpengaruh miras dan pornografi.
Celakanya, polisi tidak pernah membuktikan pernyataan pelaku-pelaku sodomi (melakukan hubungan seksual melalui anal atau seks anal) yang mengatakan mereka pernah jadi korban sodomi. Teknologi kedokteran akan membuktikan pernyataan pelaku-pelaku sodomi itu melalui diagnosi dengan pemeriksaan laboratorium.
Miras dan Pornografi
Lihat saja ini: Penyidik Polda Metro Jaya menduga, salah satu tersangka kejahatan seksual, Zainal, menjadi korban pelaku paedofilia, William James Vahey (64), yang tewas bunuh diri dalam berita berjudul “Tersangka Kasus JIS Diduga Pernah Jadi Korban Guru Paedofil” (kompas.com, 28/4-2014).
Polisi saja baru menduga berdasarkan pengakuan pelaku. Ini ‘kan kacau-balau. Ada kesan pembelaan terhadap pelaku. Lagi pula secara hukum apakah seseorang yang pernah jadi korban otomatis bisa melakukan hal yang sama sebagai pembalasan?
Tentu saja tidak. Maka, tidak perlulah polisi memberikan ‘panggung’ kepada pelaku sodomi untuk mengatakan alasannya menyodomi murid di JIS itu. Mungkin saja dari aspek psikologis hal itu bisa terjadi, tapi dalam kaitanlah diperlukan pendidikan seksualitas sejak usia dini agar anak-anak.
Bisa saja terjadi dalam proses pendidikan seksualitas itu akan muncul masalah-masalah terkait seksualitas anak-anak. Maka, pendidikan seksualitas adalah pintu untuk mengenali masalah dan perilaku seksualitas anak-anak sejak dini.
Setelah menjadi korban, lelaki yang bekerja sebagai pemulung ini terobsesi untuk melakukan tindakan serupa kepada orang lain dan berhasil menjerat belasan korban lainnya.
Dengan menyebutkan pelaku terobsesi melakukan sodomi karena dia korban pencabulan di masa anak-anak merupakan pembelaan terhadap pelaku dan mendorong orang lain yang juga pernah jadi korban untuk melakukan hal yang sama.
Bayangkan ketika seseorang berniat memerkosa akan meminum miras dan menonton video porno sebelum melakukan perkosaan sebagai bagian dari pembenaran tindakannya berdasarkan ‘pembelaan’ dua menteri perempuan itu.
Dua menteri itu boleh-boleh saja “mengumbar syahwat” untuk menguatkan usul mereka membuat aturan tentang miras dan pornografi, tapi tidak dengan membela pelaku kejahatan di depan publik melalui media massa yang bisa menjadi inspirasi dan penggiringan opini publik yang merugikan korban dan calon-calon korban.
Dalam berita “Korban Sodomi Berani Lapor karena Termotivasi Kasus Saipul Jamil” disebutkan: .... seorang pemuda MS (18) asal Dusun Tepus, Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, diamankan polisi lantaran diduga telah mencabuli 15 anak-anak di bawah umur.
Hasil pemeriksaan sementara, kata Purwanto (Kepala Polsek Windusari, Kabupaten Magelang), perilaku menyimpang pelaku disebabkan kebiasaan pelaku yang sering melihat adegan porno melalui ponselnya. (kompas.com, 14/3-2016).
Sodomi dan Perkosaan
Disebutkan ‘perilaku menyimpang pelaku disebabkan kebiasaan pelaku yang sering melihat adegan porno melalui ponselnya’ merupakan pembelaan dan pembenaran tindakan asusila MS. Banyak orang nonton adegan porno bukan hanya di ponsel tapi di layar laptop atau di dinding yang dijadikan layar projentor (LCD) tapi tidak melakukan perkosaan atau sodomi.
Maka, persoalan bukan pada adegan porno, tapi pada diri MS sendiri.
Celakanya, wartawan yang menulis berita itu rupanya tidak jeli karena guru ini tidak hanya melakukan sodomi tapi juga perkosaan “Rinciannya, 4 siswa mengaku disodomi dan 2 siswa lainnya dicabuli.” Dicabuli di sini adalah melakukan hubungan seks vaginal. Lalu, apakah juga dulu guru ini diperkosa secara vaginal?
Dalam berita “Pelaku Sodomi Belasan Murid Mengaku Pernah jadi Korban” di kaltim.tribunnews.com (21/11-2016) polisi dengan tegas memberikan ‘panggung’ pembelaan bagi pelaku sodomi: “Dia pernah menjadi korban sodomi sejak duduk di bangku kelas II sekolah dasar sehingga trauma akan kejadian masa lalunya. Makanya dia lampiaskan kepada anak-anak usia SD,” ujar Kapolres Nunukan, AKBP Pasma Royce.
Dalam berita disebutkan: Ismail bin Maksud Lirang (32), pelaku pencabulan belasan murid Sekolah Dasar di Sungai Lancang, Kecamatan Nunukan Selatan, Kaltara, saat diperiksa Polisi, mengaku pernah menjadi korban sodomi.
Semua hanya sebatas pengakuan tersangka, maka akan lebih arif kalau polisi tidak mempublikasikan pengakuan sepihak itu karena polisi belum melakukan visum terkait dengan pangakuan pelaku sebagai bagian dari penyidikan. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H