Kegiatan Seksual Berisiko
Infeksi HIV bisa terdeteksi pada seseorang yang pernah atau sering melakukan kegiatan seksual berisiko, seperti melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti, atau melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, misalnya, PSK dan gigolo. Celakanya, bertolak dari anggapan yang sudah memasyarakat bahwa risiko itu hanya ada di lokalisasi pelacuran terbuka. Itulah sebabnya ada saja orang-orang yang tertular HIV melalui kegiatan berisiko karena pasangannya bukan PSK karena dilakukan dengan yang bukan PSK dan di luar lokalisasi pelacuran.
HIV terdeksi melalui tes HIV (darah) dengan reagent ELISA akurat setelah terjadi penularan HIV, dalam hal ini setelah melakukan kegiatan seksual berisiko. Itu artinya kasus HIV yang dilaporkan Jawa Timur bisa jadi merupakan infeksi HIV baru setelah tempat pelacuran terbuka ditutup. Soalnya, di Jawa Timur pelacuran terjadi secara online dan di beberapa tempat yang bukan lokalisasi pelacuran.
Dari aspek kesehatan masyarakat melokalisir pelacuran merupakan salah satu bentuk untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya. Langkah ini dikenal sebagai intervensi dengan cara memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tapi, ketika praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat, sembarang waktu dan dengan berbagai modus intervensi pun tidak bisa dilakukan. Itu artinya kita menyimpan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H