Suasana pagi hari yang biasanya ceria di sekitar tempat kos penulis di salah satu kawasan di Kota Jogja, DI Yogyakarta, tapi hari itu tiba-tiba susana mencekam karena gadis-gadis di sana marah-marah.
Ada apa?
Rupanya, pakaian dalam, terutama Bra dan CD (celana dalam), yang mereka rendam dan dijemur hilang. Ini kejadian di awal tahun 1970-an. Tentu saja hal itu jadi pukulan berat bagi anak kos, khususnya yang dari luar Jawa karena sering dikaitkan dengan perilaku yang tidak baik. Maklum, cara hidup keseharian di Jogja tentu berbeda dengan di daerah asal anak-anak kos.
Lalu, bagaimana caranya agar anak-anak kos rantau, terutama cowok, tidak jadi ‘tersangka’?
Dengan beberapa teman kami membentk ‘tim pengintai’. Setiap malam semua kamar kos cowok diintai.
Busyet. Di salah satu kamar kos seorang cowok tidur telanjang terlentang. Di bagian hidungnya ada Bra dan di penisnya diletakkan CD. Akhirnya kasus kehilangan Bra dan CD pun terbongkar. Lega sekali rasanya karena lolos dari tuduhan sebagai pencuri kutang dan celokan ladam. Untuk menjaga nama baik teman tadi kami tidak menyebebarkan kasus ini di lingkungan kos.
Perilaku anak kos tadi dikenal sebagai fetihisme yaitu menyalurkan dorongan seksual melalui benda-benda yang dipakai lawan jenisnya, terutama benda-benda yang menempel ke kulit. Fetihisme sendiri adalah bagian dari parafilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan cara yang lain (Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual ’di atau dari Sisi Lain’).
Yang bisa dikategorikan sebagai ‘predator anak’, seperti judul berita di Harian “KOMPAS” (15/3-2016) ini “PREDATOR ANAK.Jaringan Paedofil Leluasa di Indonesia“ bukan pedofila, tapi pelaku sodomi. Soalnya, pedofilia tidak melakukan hubungan seksual, seks vaginal dan seks anal, dengan cara-cara kekerasan tapi mereka lakukan dalam relasi sosial yang umum. Misalnya, anak laki-lak diangkat jadi anak angka, keponakan angkat, dll. Sedangkan anak perempuan selain dijadikan anak angkat atau anah asuh ada pula yang dijadikan sebagai isteri.
Jangkan orang awam, polisi dan menteri pun tidak bisa membedakan paedofilia dengan sodomi. Laki-laki yang mengiming-imingi korbannya dengan uang dll. untuk melakukan seks vaginal atau seks anal atau kedua-duanya tidak otomatis sebagai paedofilia tapi lebih tepat disebut sebagai pelaku sodomi atau pemerkosa.
Ketika ada pelaku sodomi ditangkap polisi berita di media massa dan media online pun langsung menyebut sebagai pedofilia atau gay. Ini tidak pas karena seks anal tidak hanya dilakukan oleh pedofilia dan gay. Lagi pula sodomi dilakukan dengan bujukan dan ancaman sehingga bukan pedofilia (Pelaku Sodomi Tidak Otomatis Seorang Paedofilia atau Gay).
Begitu juga dengan kasus-kasus prostitusi atau pelacuran anak selalu saja dikaitkan dengan pedofilia dan gay. Padahal, pelaku pelacuran anak bukan karena mereka pedofilia atau gay. Ada beberapa alasan laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, seks vaginal dan seks anal, dengan anak-anak, misalnya mereka menganggap anak-anak ‘bersih’, bebas penyakit kelamin, dll. (Prostitusi Anak: Seks Anal Tidak Otomatis Hanya Dilakukan oleh Gay).
HIV/AIDS
Jumlah kasus terkait parafilia yang ditangani polisi tidak menggambarkan kasus yang terjadi di masyarakat. Kasus-kasus yang tidak dilaporkan (dark number) terjadi karena banyak alasan, seperti malu karena menyangkut anggota keluarga, dll.
Parafilia lain, seperti cougar, bestialis, dan fetihisme juga banyak terjadi tapi kasus yang sampai ke polisi masih sedikit. Biar pun kasus yang dilaporkan sedikit bukan berarti perilaku ini bisa diabaikan karena potensial sebagai kasus yang menyerang harkat manusia.
Bentuk parafilia lain yang juga banyak kasus yang dilaporkan adalah incest yaitu hubungan seksual antar anggota keluarga sedarah. Sudah ada 19 kasus yang dilaporkan. Incest ini jadi masalah besar karena terkait dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Hampir tidak ada jalan bagi mereka untuk menghentikan kehamilan. Padahal, anak-anak yang lahir dari kehamilan incest biasanya akan mengalami masalah kesehatan.
Masalah lain yang luput dari perhatian terkait dengan perilaku parafilia adalah infeksi menular seksual (IMS), dikenal luas sebagai ‘penyakit kelamin’, seperti kencing nanah (GO), raja singat (sifilis), virus hepatitis B, klamidia, dll., serta HIV/AIDS.
Dalam kaitan itulah diharapkan tenaga medis di Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dll. lebih awas memeriksa anak-anak dan remaja yang berobat. Seperti kasus infantofilia di Jakarta Timur tenaga medis di salah satu rumah sakit swasta jeli ketika memeriksa pasien dengan memeriksa bagian-bagian tubuh bayi tsb. Tenaga medis menemukan vagina bayi itu infeksi. Rumah sakit meneruskan kasus ke polisi.
Sedangkan kasus pedofilia sangat sukar dihadapi karena tidak ada unsur paksaan. Bahkan, ada orang tua yang senang ketika anaknya dibawa ke luar negeri dengan alasan akan disekolahkan di sana. Yang lain dengan modus anak angkat, anak asuh, istri, dll. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H