Secara sosiologis Komnas PT melihat RUU Pertembakauan memberi ruang gerak yang khusus bagi tembakau mulai dari hulu sampai hilir, padahal tembakau hanya bagian kecil dari komoditas pertanian nasional. Hanya tiga provinsi, dan tidak di semua kabupten, di Indonesia yang menjadi sumber komoditas tembakau yaitu Jawa Timur (60,1 persen), NTB (17 persen), dan Jawa Tengah (13,3 persen), serta daerah lain (8,9 persen) [Kementerian Kesehatan RI, 2015].
Produksi tembakau nasional hanya 4,6 persen dari produksi tembakau dunia. Pada rentang waktu 1996-2013 persentase petani tembakau nasional hanya 1-2 persen dari jumlah petani di sektor pertanian. Data Badan Pertanian PBB (FAO) menunjukkan sampai tahun 2012 produksi tembakau nasional sebesar 226.704 ton atau hanya 3% dari produksi tembakau global. Tiongkok, Brazil, India, Amerika Serikat adalah negara terbesar penghasil daun tembakau dengan mendominasi 69.8% produksi daun tembakau dunia.
Impor Tembakau
Hampir 90% negara-negara di dunia ini telah memberlakukan pengaturan ketat terhadap konsumsi produk tembakau demi kesehatan masyarakatnya sehingga mempengaruhi pandangan petani tembakau terhadap masa depan tanaman tembakau. Itu artinya ekspor daun tembakau dan rokok bisa mencapai nol sehingga produk tembakau nasional akan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Data Statistik Perkebunan Indonesia menyebutkan bahan baku rokok di Indonesia adalah tembakau impor yaitu 106.570 ton atau 49.7% dari produksi tembakau nasonal, bahkan sekarang angka impor daun tembakau mencapai 60%. Bandingkan dengan ekspor daun tembakau Indonesia. Tahun 2011 ekspor daun tembakau Indonesia hanya 18.1% dari total produksi daun tembakau nasional. Artinya, persentase impor terhadap ekspor mencapai 273.9%.
Menurut Faisal, tembakau hanya salah satu dari sekian banyak komoditas pertanian yang juga tidak terlalu menguntungkan petani karena tata niaga yang rumit dan permainan pasar yang berperan besar dalam perdagangan tembakau. Faktor alam dan perawatan yang sulit juga menurunkan keuntungan petani. Bertolak dari fakta ini sudah saatnya pemerintah memikirkan alih budidaya tanaman tembakau dengan tanaman lain.
Celakanya, RUU Pertembakauan sama sekali tidak memikirkan masa depan petani tembakau ketika kelak tembakau tidak bisa lagi diandalkan sebagai komoditas pertanian. Bahkan, RUU Pertembakauan tidak memperhitungkan eksternalitas lain, misalnya biaya kesehatan petani tembakau (green tobacco sickness),peningkatan kesejahteraan petani dan buruh pabrik,pemulihan kesuburan tanah, penanganan deforestasi, kebakaran, serta pengambilan dan pengelolaan limbah B3 puntung rokok.
Ada pula kesan bahwa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di indusri rokok nasional yang dipersepsikan akibat dari kekurangan bahan baku. Padahal, yang terjadi adalah industri besar mengakuisisi industri rokok kecil yang memakai tenaga manusia sebagai pelinting dan menutup pabrik lintingan tsb. Industri rokok besar lebih banyak memakai mesin sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Rupanya, ada ‘keluhan’ dari kalangan produsen rokok bahwa dengan menetapkan tembakau sebagai bahan yang mengandung nikotin permintaan rokok turun. Nikotin masuk zat adiktif yang sekaligus juga sebagai toksik atau racun, tapi tidak termasuk sebagai narkotika. Badan Kesehatan Sedunia (WHO) menyebutkan substance abuse yaitu zat dalam tembakau bukan tembakau atau rokok.