Hal lain yang sering dipersoalan adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Diposisikan bahwa penanggulangan HIV/AIDS terhalang karena stigma dan diskriminasi.
Anggapan itu sempit dan tidak objektif karena stigma dan diskriminasi terjadi di hilir yaitu terhadap orang-orang yang (sudah) tertular HIV/AIDS. Lalu, penanggulangan apa yang terganggu?
Yang jelas pemerintah tidak bisa melakukan program yang konkret dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK karena:
Pertama, program tsb. merupakan kegiatan berupa intervensi terhadap laki-laki untuk memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Hal ini tidak bisa dilakukan karena kondom ‘dilarang’ dipromosikan di Indonesia. Banyak kalangan, bahkan pakar dan tokoh, yang menyerang promosi kondom. Bahkan, ada ketua organisasi keagamaan yang menyebut Menkes Nafsiah Mboi sebagai ‘menteri cabul’ karena mendukung promosi kondom untuk pencegahan HIV/AIDS (Lihat Gambar 1).
Soalnya, dengan membubarkan dan menutup lokasi pelacuran maka praktek pelacuran dan transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa lagi dikontrol melalui regulasi.
Selama promosi kondom dan melokalisir praktek pelacaran ditolak, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru tidak bisa diturunkan yang pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakata yang kelak bermuara pada ‘ledakan ADIS’. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI