Suatuhari seorang anak perempuan, usia SD, bertanya kepada sepupunya, lulus SMA, mengapa tidak salat. “Oh, lagi mens, ya, Mbak,” kata si anak dengan enteng.
Apa yang terjadi kemudian? Anak tadi dia marahi sambil memberikan ‘wejangan’ bahwa informasi tentang menstruasi itu tabu. Tapi, si anak tidak merasa bersalah karena ayahnya sudah memberikan penjelasan yang akurat tentang seksualigas yang sesuai dengan usianya.
Ketika belajar di kelas 3 sebuah SMP nun di Kota Padangsidimpuan, di bagian selatan Sumatera Utara, akhir tahun 1960-an seorang siswi merah padam mukanya dan teman-temannya berusaha mengelilingi siswi tadi agar roknya yang memerah tidak terlihat. Rupanya, siswi itu pertama kali menstruasi.
Mimpi Basah
Dua kejadian itu menunjukkan pemahaman terhadap seksualitas, dalam hal ini menstruasi, yang sangat rendah.
Pertama, mens bukan aib karena itu menunjukkan kesehatan. Jika tidak mens secara teratur kemungkinan hamil atau ada kelainan metabolisme tubuh.
Kedua, anak-anak perempuan tidak dipersiapkan menghadapi menstruasi sehingga ketika terjadi mereka bingung, ketakuatan, dll.
Begitu juga dengan anak laki-laki karena tidak dibelaki dengan informasi tentang seksualitas maka banyak yang bingung ketika pertama kali mengalami ‘mimpi basah’. Celakanya, kalau mereka bertanya ke orang yang lebih tua bisa jadi jawaban yang menyesatkan. Misalnya, disebutkan bahwa kalau sudah ‘mimpi basah’, maka harus disalurkan melalui hubungan seksual. Inilah salah satu faktor yang mendorong remaja ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) dan waria.
Maka, insiden ‘penyakit kelamin’ (disebut IMS yaitu infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) di kalangan remaja pun sering terdeteksi karena mereka tidak mengetahui cara-cara mencegah penularan IMS. Bahkan, bisa jadi mereka tertular HIV/AIDS.
Masalah (pendidikan) seksualitas kembali menghangat ketika dalam buku “Aku Berani Tidur Sendiri” ada gambar dengan narasi yang mengarah ke onani. Reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan yang bermuara pada penarikan buku. Tentu saja cara ini tidak menyelesaikan masalah karena sekarang informasi seks, bahkan video hubungan seksual dengan mudah dicari di Internet. Tidak harus pakai PC atau laptop, tapi cukup dengan telepon genggam sudah bisa ditonton adegan sanggama.
Yang jadi masalah besar adalah remaja yang tertular IMS akan mencari pengobatan sendiri dengan membeli obat antibiotik di pedagang obat K-5. Celakanya, obat antibiotik yang ditawarkan tidak cocok untuk semua IMS sehingga remaja-remaja itu mengalami efek buruk, seperti deman yang berkepanjangan, rambut rontok, dll. Pernah kejadikan seorang remaja yang demam tidak sembuh-sembuh biar pun sudah minum obat. Orang tuanya membawa si remaja ke rumah sakit. Orang tua remaja tadi kaget bukan alang kepalang. Bak petir di siang boleh mereka kaget mendengar keterangan dokter bahwa putra mereka tertular sifilis.
Pada usia remaja, terutama laki-laki, dorongan seksual sedang menggebu-gebu. Nah, banyak pihak yang membalut lidah dengan moral akan menyarakan penyaluran yang ‘positif’, seperti kegiatan di luar sekolah, olahraga, dll. Ini ‘kan naif.
Bayangkan, ketika seorang remaja putra ereksi di tengah malam buta, apakah dia ganti pakaian olahraga lalu lari-lari di depan rumah? Tentu saja secara alamiah nalurinya secara reflek akan melakukan onani. Yang membuat celaka ada di antara mereka yang mencari penyaluran seks dengan cara melakukan hubungan seksual dengan PSK atau waria. Bagi banyak orang dorongan hasrat seksual tidak bisa disalurkan dengan cara-cara di luar seks.
Sebuah keluarga yang terdiri atas suami Jepang dan istri Jawa menjalankan cara-cara yang biasanya dilakukan masyarakat Jepang dalam mendidikan anak-anak terkait dengan seks. Pada usia SD ayah, ibu dan anak-anak mandi bersama. Ketika mandi itulah dijelaskan nama-nama organ seks dan fungsinya dan kapan dipakai untuk keperluan reproduksi. Informasi ini saya peroleh melalui wawancara dengan si istri di akhir tahun 1980-an di Jakarta.
Diberikan pula sugesti bahwa alat-alat reproduksi tsb. tidak boleh dipegang oleh orang lain karena organ-organ reproduksi itu merupakan milik pribadi yang harus dijaga dengan baik. Bahkan, disebutkan pipi pun harus dijaga agar tidak dicubit dan dicium orang lain.
Tentu saja penjelasan sesuai dengan usia anak-anak tsb. Yang perlu diperhatikan jangan memberikan penjelasan melebih pertanyaan dan kebutuhan anak-anak. Ketika anak laki-laki mereka bercerita bahwa dia merasa sudah ada dorongan seks, maka anak laki-laki itu pun tidak ikut lagi mandi bersama dan ditangani khusus oleh si ayah. Begitu juga anak perempuan dipegang oleh si ibu. Sayang, perempuan Jawa tadi enggan menjelaskan apa yang dilakukan ayah dalam mengatasi dorongan seks putra mereka.
Dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV/AIDS perlu dipirkan cara penyaluran seks remaja agar mereka tidak ngeseks dengan PSK atau waria. Soalnya, sekarang ini ada aturan yang menunda usia perkawinan, padahal penyaluran dorongan seksual tidak bisa ditunda-tunda.
Yang lebih repot lagi ada di antara mereka yang menyalurkan dorongan seksual dengan pacar sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Jika ini yang terjadi persoalan besar ada pada remaja putri atau perempuan karena mereka yang disalahkan dan dipecat dari sekolah atau pekerjaan. Masyarakat pun hanya menghukum perempuan yang mengalami KTD.
Apakah kita tetap memilih membisu seperti sekarang dengan akibat anak-anak mencari informasi sendiri dan menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang berisko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dan mengalami KTD?
Atau mencari cara yang elegan dalam memberikan pemahaman seksualitas kepada anak-anak kita agar mereka tidak tergelincir kepada perilaku-perilaku yang berisiko? *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H