Mr Condom
Program di urutan pertama adalah meningkatan peran media massa sebagai media pembalajaran masyarakat tentang cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS. Bersamaan dengan itu diluncurkan pula program berupa sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di uturan kelima (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, December 2000).
Memang, enolakan terhadap sosialisasi kondom juga terjadi di banyak negara. Di Thailand, misalnya, program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir juga dikecam. Tapi, berkat dukungan media massa program itu berjalan lancar dan berbuah manis dengan salah satu indikator yaitu penemuan kasus HIV/AIDS yang terus menurun drastis di kalangan calon taruna militer ketika tes kesehatan. Pengagas program kondom ini adalah Mechai Viravaidya yang dikenal sebagai Mr. Condom di Thailand dngan semboyan “made Thailand a better place for life and love”. Mechai pun menerima hadiah “Magsaysay” tahun 1994.
Pemberitaan yang objektif dan konsisten pun mendorong banyak kalangan menyingsingkan lengan baju membantu pemerintah menanggulangi HIV/AIDS. Pasien yang tidak bisa ditampung rumah sakit langsung dibawa oleh bhiksu ke vihara. Itu gambaran ril betapa media massa berperan besar dalam memasyarakatkan penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, itu ‘kan di Thailand.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Sejak awal epidemi HIV/AIDS yaitu di tahun 1981 pemberitaan media massa nasional berkutat pada mitos (anggapan yang salah). Mulai dari soal penyakit orang asing, penyakit bule, penyakit pelacur, penyakit perilaku menyimpang, penyakit kutukan, dst. (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, PT Sinar Harapan-The Ford Foundation, Jakarta, 2000). Celakanya, sampai sekarang pun tetap saja ada berita yang mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan mitos.
Yang lebih menyedihkan adalah ada berita yang justru tidak memberikan pencerahan tentang langkah penanggulangan AIDS, malahan mendukung pengecam yang menolak lokalisasi dan kondom. Ini terjadi karena ada wartawan yang memakai moralitas dirinya sendiri ketika menulis berita. Banyak berita yang justru berseberangan dengan upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, al. dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang berbicara melalut lidahnya dengan moral ketika membicarakan AIDS yang merupakan fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran).
Tidak Berkompeten
Berita pun lebih banyak yang menakut-nakuti daripada meningkatkan kesadaran untuk melindungi diri, misalnya menyebutkan: “penyakit AIDS yang tidak ada obatnya” (padahal ada obat AIDS), “AIDS penyakit mematikan” (padahal belum ada satu kasus pun kematian karena AIDS). Jurnalisme horor seperti ini dikenal di awal epidemi 30-an tahun yang lalu, sehingga tidak pas lagi dipakai saat ini.
Banyak kalangan, bahkan menteri kesehatan, yang menyampaikan statement berupa mitos, tapi wartawan dengan ringan tangan menulisnya dan media pun menyebarlaskan mitos tsb. Misalnya, ada menteri kesehatan yang mengatakan “AIDS tidak mungkin masuk Indonesia karena masyarakatnya berbudaya dan beragama”, ada lagi pernyataan yang menyebutkan “AIDS penyakit bule”. “AIDS penyakit homoseks”, dll.