Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Hoax" Terus Menebar Kebencian, Inikah Kebebasan Berekspresi yang Didengungkan Penentang UU ITE?

6 Februari 2017   15:11 Diperbarui: 6 Februari 2017   16:27 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ibtimes.co.in)

"Hoax" Terus Tebar Benih Konflik, Pakai Media Sosial dengan Baik. Ini judul berita di Harian “KOMPAS” edisi 6/2-2017. Kabar atau informasi bohong yang dikemas seperti berita yang umum dimuat media massa dan media online itu pun menyebar luas dan cepat karena memakai jaringan internet melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Path, Instagram, dll.

Hoax terus-menurus muncul dan diperbanyak serta disebarluaskan melalui ‘daring’ (dalam jaringan) yang ‘laris-manis’ adalah kabar yang bersifat kebencian terkait SARA dan ketidaksukaan terhadap seseorang terutama pemimpin. Ujaran kebencian bukan kritik karena kritik tidak dengan caci-maki dan kebencian (Melancarkan Kritik Melalui Tulisan Bukan dengan Mencaci-maki, Mengejek dan Menghina).

Itulah sebabnya hoax akan terus terjadi karena orang-orang yang memendam benci dan dendam akan mencari ‘berita’ yang mendukung kebenciannya sebagai ‘the haters’ melalui ‘Mbah Google’ dengan kata pencarian kebencian (kata kunci) seperti yang ada di hati mereka.

Konfilik sosial yang terjadi secara horizonal akibat hoax sudah terjadi. Seperti yang dilaporkan “KOMPAS” ini: .... di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, 10 Januari 2017. Tercatat 149 rumah warga rusak akibat bentrokan yang dipicu kabar bohong melalui akun Facebook warga di salah satu desa itu. Kasus lain terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, seseorang yang menebar kebencian SARA sehingga warga membakar vihara di sana pada tanggal 29 Juli 2016.

Contoh yang disampaikan ‘KOMPAS’ itu menggambarkan betapa ujaran kebencian, terutama yang bermuatan SARA, akan mudah memicu emosi warga yang tidak berpikir panjang.  Laporan ‘KOMPAS’ juga menyebutkan sepanjang tahun 2016, Badan Reserse Kriminal Polri menerima laporan tindak pidana terkait hoaxyang melonjakdari masyarakat sebanyak 4.426. Kebanyakan tentang penghinaan di dunia maya. Polri membentuk Direktorat Tindak Pidana Siber yang akan segera beroperasi.

Pembuat hoax pun akan menyesuaikan ‘berita’ yang akan disebarkannya dengan kebencian yang ada. Ada yang memanipulasi data, fakta dan berita serta pidato atau ceramah. Masih segar dalam ingatan betapa pidato Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, Prov DKI Jakarta tanggal 27 September 2016 dimanipulasi sehingga menimbulkan kebencian yang luas.

Celakanya, banyak kalangan yang tidak mau menonton video asli pidato Ahok karena takut berubah pikiran karena selama ini mereka sudah menaruh kebencian yang sangat mendalam bahkan sudah sampai ubun-ubun terhadap Ahok. Pidato Ahok dimanipulir sesuai dengan harapan yang memanipulasi untuk menimbulkan kegaduhan dengan kebencian yang bertumpu pada SARA.

Maka, amatlah mansiawi jika kita bertanya kepada orang-orang yang habis-habisan setengah mati menentang UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) dengan alasan UU ITE akan menghambat dan mematikan kebebasan berekspresi [Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?].

UU ITE menjerat orang-orang yang memakai Internet untuk menyebarkan berita bohong, fitnah, pencemaran nama baik, dll.  dengan hukuman penjara paling lama empat tahun atau denda Rp 1 miliar. Jeratan hukum di UU ITE ini sama sekali tidak melawan hukum terkait dengan kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) karena yang kena sanksi pidana adalah orang-orang yang memakai Internet untuk menyebarkan fitnah, kebencian, pencemaran nama baik, dll.

Maka, secara harfiah kalau diikuti jalan pikiran penentang aturan hukum terkait dengan ber-media sosial sampai pada kondisi bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh diatur-atur apa pun bentuknya, baik cari-maki, fitnah, dll. Itu semua adalah kebebasan berekspresi bagi penentang aturan yang membatasi konten media sosial sesuai dengan koridor hukum. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun