Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapa yang Mengawali Fitnah dan Hoax di Negeri Ini, Sih?

21 Januari 2017   17:19 Diperbarui: 21 Januari 2017   17:21 2245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: planetxnews.com)

"Pak Ahok mesti diproses secara hukum jangan sampai dia dianggap kebal hukum. Ingat kesamaan di mata hukum. Jangan ada anggapan Pak Ahok tidak boleh disentuh." (suara.com, 2/11-2016).Ini pernyataan SBY (baca: Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono) dalam konferensi pers di Puri Cikeas, Bogor (25/10-2016) yang bertajuk tanggapan terkait dengan kasus Munir.

Lalu, tanggal 19 Januari 2017 SBY melempar ciutan melalui akun Twitter dia @SBYudhoyono: Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar "hoax" berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*

Astaga, ini ‘kan menuding pemerintah Jokowi-JK sebagai juru fitnah dan penyebar hoax. Justru yang terjadi sekarang ‘rakyat yang lemah’ memakai kebebasan demokrasi secara telanjang ‘naked power’ dalam menyebarkan fitnah dan hoax melalui media sosial terhadap pemerintah. Bahkan, ada yang menulis fitnah dan hoax tentang Jokowi dan orang-orang lain dalam sebuah buku. Apakah Pak SBY melihat fakta ini atau hanya memakai moralitas dirinya sendiri dalam memaknai berbagai kasus yang menyerang pemerintahan Jokowi-JK?

Bahkan, konferensi pers yang disebut penjelasan tentang kasus Munir itu ternyata melebar ke sana ke mari yang oleh banyak orang dan kelangan dimaknai sebagai upaya SBY memberikan ruang bagi kemenangan anaknya, Agus Harymurti Yudhoyono berpasangan dengan  Silvyana Murni dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Maklum, Agus terpaksa melepaskan pangkat mayornya di TNI-AD. SBY pun memakai ‘taktik’ dengan menyudutkan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang dijadikan tersangka dugaan penistaan agama hanya karena mereka tergoda dengan video yang diunggah oleh Buni Yani di media sosial berupa manipulasi pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu tanggal 27 September 2016.

Buni Yani kemudian ditetapkan oleh Polda Metro Jaya sebagai tersangka  pencemaran nama baik, penghasutan, dan SARA. yang dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana enam tahun dan denda Rp 1 miliar (bali.tribunnews.com, 23/11-2017).

Terlepas dari menipulasi video yang dilakukan Buni Yani yang mengaku sebagai wartawan itu, serangan SBY terhadap Ahok merupakan bentuk intervensi. Yang lebih konyol lagi pernyataan SBY tsb. merupakan berita bohong (hoax) yang masuk kategori fitnah. Soalnya, ketika SBY berkoar-koar di kediamannya kasus Ahok sudah ditangani Bareskrim Polri pada tingkat penyelidikan. Tentu polisi mempunyai standard oparating procedure (SOP) yang baku, al. berdasarkan KUHAP, dalam menangani setiap kasus. Sebagai seorang yang pernah menjabat presiden dua priode atau 10 tahun atau satu dasawarsa selayaknya SBY paham hal SOP itu sehingga tidak perlu ada pernyataan ‘kebal hukum’.

Maka, amatlah jelas pernyataan SBY itu fitnah terhadap pemerintah dan menggiring opini publik bahwa Ahok tidak tersentuh karena dilindungi Presiden Jokowi. Ini hoax dan sekaligus fitnah yang sangat keji.

Tapi, syukurlah Presiden Jokowi tidak menanggapi fitnah SBY ini dan memilih bekerja sesuai dengan filosofi kabinet yaitu kerja, kerja dan kerja.

Fitnah terhadap Jokowi sudah mulai sejak beliau mencalonkan diri dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 bersama Ahok sebagai cawagub. Bahkan, fitnah memakai unsur SARA. Tapi, syukurlah Jokowi-Ahok menang karena informasi tentang kejelekan mereka hanya fitnah belaka.

Tidak berhenti pada Pilgub DKI. Fitnah terus menyerang Jokowi ketika PDIP mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden (Capres) 2014-2019 bersama Jusuf Kalla sebagai cawapres. Jokowi mengedepankan ‘revolusi mental’ sebagai filosofi perjuangan dengan maksud menggerakan rakyat dengan kepribadian nasional dalam membangun bangsa.

Celakanya, ada kalangan yang memanfaatkan ‘revolusi mental’ yaitu mengaitkannya dengan ‘revolusi ideologi’. Kabarnya, dipakailah konsultan asing dalam mengembangkan serangan konyol itu ke Jokowi-JK. Menyamakan ‘revolusi mental’ dengan ‘revolusi ideologi’ amatlah buruk bagi Jokowi-JK karena dikaitkan dengan partai terlarang. Orang asing ternyata dibayar hanya untuk memecah-belah bangsa dengan menyebarkan fitnah.

Tentu saja hanya buang-buang enerji menanggapi hoax. Soal fitnah biarlah Yang Maha Kuasa yang memberikan ganjaran atau kifarat. Dengan ‘revolusi mental’ landasan ideologi bangsa sudah jelas yaitu Pancasila. Sayangnya, sekarang kian banyak orang dan kalangan yang merasa dirinya sebagai ‘wakil tuhan’ mengabaikan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun