Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Arogansi yang Berlindung di Balik Seragam Ala Militer

12 Januari 2017   14:21 Diperbarui: 13 Januari 2017   10:43 2402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Tribunews

Keberingasan merupakan salah satu wujud arogansi kelompok yang antara lain diawali dengan identitas atribut, seperti seragam pakaian dengan peralatan (uniform). Ketika pemakaian atribut seragam itu tidak dilandasi dengan filosofi, kode etik dan standard operating procedure (SOP) terjadilah arogansi grup. Dalam beberapa kerusuhan massal sering melibatkan kalangan atau organisasi dengan memakai seragam dan peralatan yang khas.

Seragam dengan atribut dan peralatan pada awalnya merupakan bagian dari militer yang dipakai di medan perang. Celakanya, seperti pernah dikatakan oleh Bang Hotman (Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, sosiolog di Univ Airlangga, Surabaya), kepada penulis, pemakaian atribut itu pun melekat sebagai ideologi militer. Karena tidak ada kode etik dan SOP, maka terjadilah arogansi yang berlindung di balik seragam.

Di kalangan militer, menurut Bang Hotman, pada latihan perang dengan memakai peluru tajam pun tidak menelan korban karena ada SOP yang jelas dengan kode etik. Maka, tidak heran kelau pada beberapa perkelahian dan kerusuhan yang melibatkan kalangan dan ormas berseragam membawa petaka dengan korban mati dan luka-luka ringan sampai luka berat.

Bahkan, ada ormas yang seragam dan perlengkapan mereka mirip atau menyerupai dengan militer. Maka, tidak heran kalau kemudian Ketua Umum Partai Hanura, mantan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal (Purn) Wiranto, mengatakan jika penggunaan seragam mirip TNI dibiarkan, nantinya akan berdampak pada citra TNI (merdeka.com, 4/9-2013). "Kalo ormas itu melakukan aksi di malam hari, masyarakat awam kan gak mengerti, nanti malah mengira TNI, citra TNI jadi buruk," paparnya.

Lembaga pendidikan yang memakai seragam cenderung memanfaatkan seragam mereka sebagai kekuatan korps [KBBI: himpunan orang (badan, organisasi) yang merupakan satu kesatuan]. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian dalam latihan fisik saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan menjalankan kekerasan. Ini berbeda dengan latihan fisik yang keras karena pada latihan fisik yang keras seperti pada militer tidak terjadi korban yang mati sia-sia.

Seperti yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Jakarta Utara, latihan yang mereka sebut sebagai keras justru berbuah kematian bagi siswa STIP itu, Amirulloh Adityas Putra, 18 tahun, setelah dianiaya oleh empat senior di dalam asrama Selasa malam tangal 10 Januari lalu (m.tempo.co, 11/1-2017). Sekolah ini menerapkan aturan pakaian seragam. Bisa jadi sentimen korps mendorong mereka saling mendukung rencana salah satu dari mereka. 

Penulis dan beberapa mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Medan, Sumut, pernah jadi ‘korban’ mahasiswa yang memakai seragam tentara. Kami dipanggil ke kantor militer dengan tuduhan ‘rapat gelap’. Yang terjadi adalah diskusi politik yang sudah barang tentu menyinggung pemerintahan saat itu di akhir 1970-an. 

Rupanya, mahasiswa yang pakai seragam militer di kampus itu merasa dirinya sebagai ‘wakil negara’ yang menempatkan diri sebagai ‘pelindung negara’. Padahal, untuk jadi pembela negara seorang mahasiswa tidak harus pakai pakaian ala tentara karena banyak kontribusi yang bisa dilakukan mahasiswa dalam membela negara. Dengan tulisan-tulisan yang mendorong masyarakat mendukung pembangunan pun sudah bagian dari bela negara.

Sudah saatnya pemerintah mengatus penggunaan seragam dan perlengkapan ala militer di luar TNI/Polri karena lebih banyak dampak buruk pemakaian seragam daripada manfaatnya. Salah satu dampak buruk adalah arogansi korps yang menjurus ke keberingasan dengan memakai kekuatan fisik.

Sekolah pun tidak perlu pakai seragam dengan logo sekolah masing-masing karena bisa jadi pembeda.

Lagi pula apa perlunya, sih, sekolah pakai seragam khusus?

Tidak ada. Bahkan, alm. Prof. Dr. Fuad Hassan yang menjabat Mendibud tahun 1985 – 1993 menolak pemakaian sepatu yang seragam. Profesor Fuad ketika itu mengatakan bahwa pakaian dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di bangku sekolah. Ketika itu Profesor Fuad bahkan mengatakan kaki ayam pun, silakan masuk kelas.

Tapi, sekarang mulai dari PAUD (pendidikan anak usia dini) sampai SMA dan sebagian sekolah tinggi kedinasan memakai seragam yang justru jadi alat pembeda dalam kehidupan keseharian di masyarakat. Bahkan, seragam yang dikait-kaitkan dengan agama jadi beban bagi siswa agama lain. Jika semua siswa di satu sekolah dipaksa memakai seragam salah satu agama tentulah tidak agamis karena hal itu merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) yang berlaku universal dan diatur dalam UU.

Kalau pun mau tetap seragam, ya, cukup dengan kemeja putih dan celana atau rok warna gelap. Ini jauh lebih humanis daripada memakai seragam yang khas dengan atribut militer, kecuali sekolah militer, yang menunjukkan bentuk tubuh sehingga yang memakai pun berjalan membusungkan dada. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun